Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
Tambnas Shopee Collaboration

SEMUT SEPATU SEBELAH


Aku bukan tipe laki-laki yang hidupnya penuh kejadian ajaib. Bangun pagi, kerja di minimarket, pulang, tidur, ulangi. Tidak ada plot twist. Yang ada cuma gaji yang tidak naik-naik.

Semua itu berubah ketika aku bertemu Seli akibat semut.

Ya, semut.
Lebih spesifik lagi: semut yang entah kenapa menetap di dalam sepatu sebelah milikku.

Aku tidak bercanda.

Pagi hari itu, aku bersiap berangkat kerja. Baru saja memasukkan kaki ke dalam sepatu kiri, tiba-tiba muncul sensasi, bukan sakit, tapi seperti ada seribu makhluk kecil sedang demo menuntut kenaikan upah minimum.

“AARGH!” teriakku sambil melompat-lompat kayak pemain sinetron yang kesurupan angin AC.

Kulihat ke dalam sepatuku, ada formasi barisan semut yang seolah menatapku dengan tatapan: “Berani-beraninya lo ganggu kantor kami.”

Aku panik. Telat kerja lima menit bisa langsung dipotong gaji, apalagi kalau harus perang dengan semut organisasi.

Jadi aku melakukan hal paling masuk akal menurutku:
membawa sepatu itu ke tukang semir di ujung jalan.

“Bang, sepatu saya ditinggali semut.”

Tukang semir itu menatapku lama. “Mas… saya semir, bukan dukun pengusir jin serangga.”

Akhirnya aku berdiri bingung di pinggir jalan, membawa sepatu kanan yang normal dan sepatu kiri yang jadi rumah KPR bersubsidi para semut.

Di saat itulah Seli lewat.

Seli adalah tipe perempuan yang kalau lewat, daun-daun terbang pelan seolah mendukung cinematic moment-nya. Rambutnya panjang, matanya ramah, dan tasnya dipenuhi gantungan karakter kartun aneh yang bikin dia kelihatan manis campur nyentrik.

Dia berhenti tepat di depanku.
“Mas, kamu lagi ngapain nenteng sepatu sebelah di pinggir jalan?”

Aku menelan ludah. “Ada… semut.”

“Semut?”

“Semut okupasi.”

Dia menatapku lima detik, lalu… tertawa.
Tertawa keras.
Tertawa sampai menepuk-nepuk bahuku.

Dan anehnya, aku tidak malu.
Mungkin karena tawanya indah.
Atau mungkin karena aku sudah terlalu putus asa menghadapi takdir semut.

“Coba lihat,” katanya sambil mengambil sepatuku. Dia mengintip ke dalam dan mengangguk-angguk sok serius. “Hmm… iya, ini semut jenis betah. Biasanya susah diusir.”

“Ada solusinya?” tanyaku.

Seli tersenyum lebar. “Ada. Ikut aku.”

Aku tidak tahu apa yang membuatku mengikuti gadis asing yang baru saja mendiagnosis sepatuku seperti dokter hewan, tapi aku ikut juga.

Kami berhenti di sebuah toko kecil bertuliskan “Pusat Tanaman Anti-Hama & Obat Aneh”.

“Mas masuk aja,” katanya sambil membuka pintu. “Aku kerja di sini.”

Ah, pantesan dia tahu hal-hal aneh soal semut.

Sesampainya di dalam, Seli mengambil botol kecil berwarna hijau neon. “Ini cairan aroma serai, biasanya semut nggak suka bau ini.”

Dia menyemprotkan sedikit ke dalam sepatu.

Semut-semut langsung keluar seperti rombongan peserta lomba lari 5K.

“WAH!” seruku kaget. “Cepet banget!”

“Iya,” kata Seli sambil tersenyum bangga. “Aroma ini kuat. Jangan kaget kalau nanti kecoak juga pindah agama.”

Aku terbahak.

Setelah operasi penyelamatan sepatu selesai, aku mengenakannya kembali. Tidak ada semut. Tidak ada demo. Tidak ada sensasi dirajam makhluk kecil.

“Terima kasih,” kataku tulus.

“Sama-sama,” jawab Seli. “Sebagai imbalannya… kamu harus traktir aku es krim.”

Aku tertegun. “Kok gitu?”

Seli mengangkat bahu. “Aku suka es krim. Dan kamu lucu. Dua alasan cukup.”

Aku mendadak kehilangan kemampuan bicara.

Jejak semut pun tak seaneh perasaan dadaku saat itu.

Traktiran es krim itu akhirnya menjadi awal dari kebiasaan baru.
Setiap beberapa hari, aku datang ke toko itu.

Alasannya bermacam-macam:

  • “Kucing kosan saya ngilangin sendok, Mbak Seli punya solusi nggak?”
  • “Kasur saya bunyinya ‘krauk krauk’, mungkin dihuni makhluk halus tikus?”
  • “Rumah teman saya didatangi kupu-kupu malam, itu tanda apa ya?”

Kadang masalahnya bahkan tidak ada.
Aku hanya rindu senyum Seli.

Tapi Seli selalu merespons semua keluhanku dengan serius campur konyol, seolah dia konsultan kehidupan makhluk kecil plus psikolog cinta masa depan.

“Aku punya feeling,” kata Seli suatu sore. “Semut itu pertanda bagus.”

“Pertanda apa?”

Seli menatapku lama. “Pertanda hidup kamu lagi mau berubah.”

Aku tertawa. “Berubah jadi apa? Gudang semut?”

“Berubah jadi seseorang yang bakal dapat hal menyenangkan.”

Aku terdiam. Jantungku ikut terdiam.

“Kayak… apa?” tanyaku pelan.

Seli menunduk, memainkan ujung rambutnya. “Kayak… pertemanan. Kedekatan. Atau… ya itu.”

“‘Itu’ itu apa?”

Seli mengangkat bahu. “Rahasia.”

Bajingan.

Pada suatu malam minggu yang mendung, aku mengumpulkan keberanian untuk mengajak Seli jalan ke taman kota. Anehnya, dia langsung setuju.

Kami duduk di bangku taman, memakan martabak mini rasa tiramisu yang dibelinya sambil mengatakan, “Kalau aku sedih, aku makan ini. Kalau aku bahagia juga makan ini. Intinya aku selalu makan ini.”

Hujan mulai turun rintik-rintik.

Seli bersandar sedikit padaku. Tidak banyak, hanya beberapa sentimeter. Tapi sentimeter itu membuat dadaku terasa seperti disetrum perasaan.

“Kamu tau,” kata Seli pelan, “semut itu hewan yang suka membentuk jalur baru kalau jalur lama macet.”

Aku menoleh. “Terus?”

“Terus aku pikir kamu mirip mereka.”

Aku mengerutkan dahi. “Aku… semut?”

Seli tertawa. “Bukan semutnya. Caranya berubah. Mungkin kamu nggak sadar, tapi sejak kamu datang bawa sepatu sebelah itu… kamu berubah.”

“Berubah gimana?”

“Kamu buka jalur baru.”
Seli menatapku lembut. “Ke arah aku.”

Aku terpaku.
Dan bodohnya, aku hanya bisa menjawab: “Oh.”

Seli tertawa lagi, kali ini lebih kecil.
“Aku suka kamu yang polos.”

Aku ingin bilang sesuatu.
Aku ingin bilang aku suka dia.
Aku ingin bilang hatiku tidak lurus lagi karena belok ke arah dia.

Tapi sebelum bibirku bicara, Seli memegang sepatu kiriku dan berkata:

“Aku punya nama untuk sepatu kamu.”

Aku bingung. “Nama?”

“Iya. Namanya Semut Sepatu Sebelah.”

Aku terdiam.
Seli tertawa.
Dan dalam tawa itu, tiba-tiba dia mendekat dan mengecup pipiku cepat—secepat semut mengambil gula pasir.

Aku membeku.

“Kamu berubah jadi manis,” katanya. “Dan aku suka.”

Sejak malam itu, hubungan kami tumbuh pelan seperti koloni semut membangun rumah.

Tidak dramatis.
Tidak heboh.
Tapi hangat.

Kami sering ke taman, makan es krim, ngobrol receh tentang hewan kecil yang bisa mengubah hidup besar. Kadang Seli bilang dunia ini lucu, kadang aku bilang dia lebih lucu. Dan setiap kali, dia akan mencubit lenganku.

Suatu hari, sebelum pulang, Seli memegang sepatu kiriku.

“Kamu sadar nggak…” katanya pelan.
“Kalau bukan karena semut, kita nggak bakal ketemu?”

Aku tersenyum. “Iya. Makhluk kecil itu lebih jago menjodohkan daripada aplikasi kencan.”

Seli memegang tanganku. “Aku senang kamu datang hari itu.”

Aku membalas genggamannya. “Aku juga senang semutnya ngekos.”

Kami tertawa. Dan di bawah lampu jalan yang redup, aku mencium dahinya pelan.

Seli berbisik, “Berarti… sekarang kamu resmi jadi jalur baruku.”

Aku menjawab, “Dan kamu jadi rumah baruku.”

Jejak semut pun kalah jauh dari jejak cinta ini.

Post a Comment for "SEMUT SEPATU SEBELAH"

toko yang sangat terpercaya