Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
Tambnas Shopee Collaboration

KUCING KUNING KEJUT-JEJUT

Aku selalu percaya bahwa hidupku biasa saja—bangun pagi, kerja, pulang, lalu mengeluh tentang hidup yang tetap begitu-begitu aja. Sampai suatu hari, seekor kucing kuning masuk ke dalam hidupku dan merusak semua kenyataan yang selama ini kupelihara.

Namanya Jejut.
Ya, Jejut. Karena setiap kali aku mencoba mengusirnya dari depan pintu kos, dia selalu mengeong keras seperti habis kesetrum listrik: “Meeo—JEEJUT!”

Awalnya aku mengira dia lapar. Tapi setelah aku kasih sarden, nasi, ayam goreng, sampai sisa rendang yang kusembunyikan sejak Idul Fitri, dia tetap ngeong kejutan itu.

Yang tidak kusangka, suara aneh Jejut itu yang akhirnya mempertemukanku dengan seseorang yang lebih aneh lagi.

Namanya Nara.

Suatu sore, ketika aku sedang berusaha memindahkan Jejut dari atas motorku, seseorang memanggil dari belakang.

“Kucing kamu lucu banget!”

Aku menoleh. Seorang perempuan berdiri membawa payung kuning, rambutnya dipotong pendek seperti baru kabur dari drama Korea. Matanya bening, senyumnya lengkap sampai ke pipi.

“Emm… bukan kucing saya, sih,” jawabku sambil mengangkat Jejut dari jok motor. “Dia cuma numpang tidur di sini.”

“Serius? Dia tadi ngeong ke aku kayak lagi manggil.”
Nara meniru suara Jejut dengan versi yang lebih lucu: “Jeeejut~

Jejut langsung menoleh ke arah Nara.
Aku ikut menoleh.
Jujur, aku bingung siapa yang lebih imut—kucingnya atau ceweknya.

“Kayaknya dia suka sama kamu,” kataku.

Nara tertawa. “Atau jangan-jangan kamu yang suka sama aku?”

Aku tersedak udara.

Jejut melompat turun, seolah berkata, nasibmu, bang.

Sejak pertemuan itu, Nara jadi sering datang ke kosku. Bukan untuk ketemu aku, tapi Jejut. Dia membawa makanan kucing, selimut kecil, bahkan mainan berbentuk ikan yang kalau ditekan bunyinya kwek-kwek.

Padahal Jejut bukan kucingku.

Yang lebih parah, Nara sering berkata:
“Aku tuh kalau punya pacar nanti pengin calonku sayang sama hewan. Biar kayak di film—pacarku gendong kucing, aku gendong harapan.”

Gendong harapan apaan.

Tapi ya… aku tidak memprotes. Dibanding hidupku sebelumnya yang hanya berputar antara kerja dan mie instan, kedatangan Nara adalah hiburan paling mewah.

Setiap sore, Nara datang dengan cerita aneh-anehnya:
  • temannya yang yakin hantu kosan adalah bapak kos itu sendiri,
  • supir ojek online yang menawarkan diskon kalau mau jadi pacarnya,
  • dan ibu kos Nara yang punya koleksi tas palsu tapi galak kayak tasnya asli semua.

Dan setiap cerita itu ia ceritakan sambil mengelus Jejut.
Sesekali sambil melirik aku.

Dan setiap kali dia melirik, rasanya jantungku ikut mengeong.

Suatu hari, hujan turun deras sekali. Nara basah kuyup sampai rambutnya menetes di teras kosku.

“Kamu kehujanan?” tanyaku bodoh.

“Enggak, aku mandi ujan-ujanan sama pocong lewat,” balasnya sambil menggigil.

Aku buru-buru memberikan handuk.

Jejut muncul dari bawah kursi, lalu mengeong keras: “JEEJUT!”

Nara tersenyum, lalu memungut kucing kuning itu dan memeluknya.
Dan saat melihat keduanya, aku merasakan sesuatu yang aneh.
Sesuatu yang membuat dadaku hangat dan kepalaku dingin.

Aku jatuh cinta.

Pada Nara.
Pada tawa-tawanya.
Pada cara dia memperlakukan Jejut kayak makhluk suci.

Tapi seperti manusia insecure pada umumnya, aku memilih diam.
Karena menurutku: cinta paling aman adalah cinta yang cuma aku sendiri yang tahu.

Tapi ternyata hidup tidak seaman itu.

Suatu sore, Nara datang tanpa Jejut berlari menyambut. Biasanya kucing itu paling sensitif soal kedatangannya, tapi hari itu tidak ada “Jeejut!”.

Nara panik. “Kucingnya mana?”

Aku ikut mencari: di bawah motor, di balik pot tanaman mati ibu kos, bahkan di dekat jemuran baju yang entah kenapa selalu bau ikan asin.

Kami berdua keliling kompleks sampai Nara terduduk kelelahan.

“Dia nggak biasanya gini…” katanya muram. “Aku takut sesuatu terjadi.”

Melihat Nara sedih begitu, rasanya dadaku ikut menyempit.
Aku meraih bahunya pelan.
“Tenang… kita cari lagi besok. Dia pasti balik.”

“Tapi kamu yakin?”

Aku mengangguk. “Kucing biasanya pulang ke tempat yang bikin dia nyaman.”

Nara menatapku lama. Tatapannya lembut, tapi juga sembrono. Seperti orang yang tidak sadar bahwa tatapannya bisa bikin aku mimisan secara emosional.

“Kalau tempat yang bikin nyaman itu… bukan tempat, tapi orang?” tanya Nara tiba-tiba.

Aku terdiam. Bahkan hujan di kejauhan ikut terdiam.

“Kamu nanya apa?” tanyaku gugup.

Nara tersenyum, senyum yang membuatku ingin membungkusnya dengan bubble wrap. “Aku tanya… kalau yang bikin nyaman itu orang… kamu bakal balik ke siapa?”

Aku kehabisan kata-kata.

Dan saat itulah, suara keras terdengar:

“JEEEEJUT!”

Kami menoleh. Jejut muncul dari bawah mobil tetangga sambil membawa… roti sobek?!

Nara langsung tertawa lega. Ia memeluk Jejut, lalu berdiri dan menatapku.

“Lain kali jangan hilang ya,” katanya pada Jejut. “Ada yang kangen loh.”

Aku berdeham. “Iya. Aku juga kangen dia… sedikit.”

Nara menatapku. “Kamu kangen siapa sebenarnya?”

Aku membuka mulut. Tidak ada alasan untuk berbohong. Tidak ada tempat untuk lari.

“Aku… kangen kamu,” kataku akhirnya.

Dunia hening. Bahkan Jejut berhenti makan rotinya.

Nara tersenyum kecil—senyum hangat, pelan, tapi menampar jantungku seperti sandal jepit nyasar.

“Aku juga,” katanya. “Kangen kamu.”

Aku terbelalak. “Serius?”

Nara angkat bahu. “Kenapa? Kamu kira selama ini aku cuma datang buat kucingnya?”

Aku mengangguk polos.

Nara menoyor kepalaku. “Kucing cuma bonus.”

“Terus… aku?” tanyaku setengah berbisik.

Nara memegang tangan kiriku. “Kamu hadiah utamanya.”

Jejut mengeong lagi:
JEEEJUT!
Yang mungkin artinya: Anjay bang, akhirnya.

Sejak hari itu, aku dan Nara resmi bersama. Tidak pakai nembak formal, tidak pakai bunga merah jambu, hanya pakai Jejut yang menjadi saksi.

Hubungan kami berjalan seperti komedi kecil:
Aku yang canggung, Nara yang terlalu jujur, dan Jejut yang merasa rumah ini miliknya.

Kadang aku berpikir, mungkin cinta itu memang sederhana:
datang tiba-tiba, bikin panik, bikin bingung, tapi juga bikin pulang.

Seperti Jejut.

Seperti Nara.

Seperti kami.

Dan begitulah, kisah cintaku yang dimulai dari kucing kuning yang mengeong kejutan.
Cinta yang tidak aku rencanakan, tapi datang dengan cara paling aneh dan paling manis.

Dan aku tahu satu hal pasti:

Kalau suatu hari aku nikah sama Nara, Jejut wajib jadi pengiring pengantin.

Mau dia ngeong, kejutan, atau bawa roti sobek sekalipun.

Post a Comment for "KUCING KUNING KEJUT-JEJUT"

toko yang sangat terpercaya