KUCING KACAMATA KADALUWARSA
Aku selalu percaya bahwa hidupku stabil dan tenang—stabil seperti WiFi kosan yang kadang nyambung kadang hilang, dan tenang seperti dompetku yang selalu kosong. Tidak ada hal luar biasa dalam hidupku… sampai aku bertemu Kembang, perempuan yang datang bersama seekor kucing aneh yang memakai kacamata.
Ya. Kacamata.
Dan lebih aneh lagi… kacamatanya retak, seperti sudah kedaluwarsa dari fungsi melihat.
Pertama kali aku melihat mereka adalah di kios fotokopi tempatku bekerja. Kembang masuk sambil menggendong kucing oranye besar yang wajahnya mirip bapak kosku kalau lagi marah.
“Mas, bisa print file?” tanya Kembang.
Aku mengangguk, tapi mataku tidak bisa lepas dari kucing itu.
Kucingnya memakai kacamata bulat, model yang biasanya dipakai profesor. Kacamata itu miring sedikit, dan kacanya retak halus.
Aku menelan ludah. “Kucingnya… minus berapa, Mbak?”
Kembang tersenyum kecil. “Nggak minus. Ini kacamata khusus.”
“Kh… khusus?”
“Iya. Kacamata anti-ngambek.”
Aku terpaku. “Anti… ngambek?”
Kembang mengangguk serius. “Kucingku ini tipe yang gampang baper. Kalau aku pulang telat lima menit aja, dia langsung manyun. Nah, pakai kacamata ini biar dia merasa kayak tokoh utama anime. Biasanya abis itu mood-nya balik.”
Aku tidak tahu apakah aku sedang bermimpi atau mengalami halusinasi akibat tidak sarapan.
“Namanya siapa?” tanyaku.
“Siapa?” Kembang menoleh. “Aku atau kucingnya?”
“Keduanya.”
Kembang tertawa. “Aku Kembang. Ini Kuproy.”
“A-aku Bimo,” kataku sambil berusaha mengabaikan fakta bahwa barusan aku mengobrol dengan kucing superstar.
Setelah selesai print, Kembang hendak pergi tapi Kuproy tiba-tiba meloncat ke mejaku dan duduk tepat di atas keyboard.
“Hei Kuproy, turun,” kata Kembang.
“Kuproy tuh bisa milih manusia,” kata Kembang. “Kalau dia duduk di tempat seseorang, itu berarti dia suka orang itu.”
Aku mengangguk. “Suka gimana?”
“Suka yang berarti… kamu aman.”
“AMAN?”
“Iya. Aman buat aku.”
Darahku berhenti mengalir selama tiga detik.
Kuproy mengeong pelan lalu turun, seolah menyetujui sesuatu yang hanya dia tahu.
Benar saja.
“Aku punya banyak file buat discan,” katanya.
Tapi file-nya cuma… dua lembar.
“Kembang,” aku memberanikan diri, “kamu suka ke sini karena…?”
Kuproy menatapku tajam.
Aku spontan meralat: “Karena kualitas mesin fotokopi kami sangat… seksi?”
Kembang tertawa keras. “Amit-amit seksi. Aku datang ya karena kamu, lah.”
Kuproy mengangguk dari dalam tasnya seperti dosen yang mengesahkan penelitian mahasiswa.
Hubungan kami berkembang pelan, lucu, dan absurd. Kami kadang duduk di depan kios fotokopi sambil makan es lilin rasa stroberi. Kuproy biasanya duduk di pangkuanku, menatapku seolah menilai kelayakan hidupku.
“Kuproy itu pernah nyelametin aku,” kata Kembang suatu sore.
“Dari apa?”
“Dari mantan yang toxic. Waktu itu Kuproy tiba-tiba jatuhin kacamata ke lantai tepat pas aku mau chat balik… eh kacamatanya patah. Tapi aku jadi sadar kalau aku buang-buang waktu.”
Aku mengangguk. “Kuproy pahlawan, ya.”
“Kuproy bilang?” tanyaku kaget.
Kembang mengangguk. “Kucingku nggak ngomong, Bim. Tapi… dia kasih tanda. Dia nggak pernah mau deket sama sembarang orang. Kucing itu sensitif sama hati manusia.”
Kuproy mengeong manja, seolah berkata “betul sekali, manusia bodoh.”
“Bimo,” katanya pelan, “kamu sadar nggak sih… kacamata Kuproy retak lagi.”
Aku melihat. Memang retak.
“Kacamata itu retak kalau dia ngerasa aku lagi suka sama orang.”
Aku terkejut. “Jadi…”
“…karena kamu.”
Hidupku langsung pecah… seperti kacamata Kuproy.
“Kalau lo nyakitin dia, gue cakar lo sampai sadar keadilan.”
Aku tidak pernah seaman itu diawasi hewan.
Suatu malam, aku memberanikan diri.
“Kembang,” kataku gugup, “aku suka kamu.”
Kuproy langsung mengeong panjang, seperti sirine hening cipta.
“Aku… mau kamu jadi orang yang kucintai bukan cuma lewat fotokopi, tapi selamanya.”
.png)
.png)
.png)
Post a Comment for "KUCING KACAMATA KADALUWARSA"