LANGIT DI ATAS KITA
Angin sore berembus pelan di sekitar alun-alun kota, membawa aroma hangat dari jajanan kaki lima dan suara anak-anak yang berlarian dengan riang. Di antara keramaian itu, seorang pemuda bernama Ardan duduk di bangku taman, memandang burung-burung merpati yang berebut remah roti. Langit berwarna keemasan, seperti biasa pada penghujung musim kemarau.
Namun hari itu, langit tak benar-benar menarik perhatian Ardan. Perhatian itu jatuh pada seseorang yang baru saja muncul dari arah deretan kios buku bekas—gadis berkacamata, berambut sebahu, membawa setumpuk buku di pelukannya. Bajunya sederhana, warna pastel yang lembut. Tapi ada sesuatu dari langkahnya yang membuat Ardan terpaku, seolah gadis itu membawa dirinya pada sebuah ingatan yang samar.
Alya.
Namanya muncul begitu saja di kepala Ardan. Dan begitu ia sadar, bibirnya tersenyum kecil.
Alya berjalan mendekat sambil tersenyum tipis. “Maaf, nunggu lama?”
Ardan menggeleng. “Belum. Aku juga baru datang.”
Padahal sebenarnya ia sudah duduk di sana hampir setengah jam. Tapi kebohongan kecil itu seolah kebutuhan, demi menghindarkan Alya dari rasa bersalah yang tak perlu.
Alya duduk di sebelahnya, meletakkan buku-buku itu di pangkuan. “Toko bukunya makin penuh. Aku cuma mau cari satu, tapi malah beli empat.”
“Tidak heran,” kata Ardan. “Kamu selalu kalah dari godaan buku-buku sedih yang sampulnya indah.”
Alya terkekeh. “Hey, bukan salahku kalau cerita-cerita itu memanggilku.”
Ardan menatap gadis itu. Tawa Alya selalu membawa cahaya pada hal-hal paling gelap. Selama setahun terakhir sejak mereka bertemu di komunitas fotografi kampus, Ardan menemukan bahwa dunia menjadi sedikit lebih mudah dijalani ketika Alya ada. Tapi ia belum pernah mengatakannya dengan kata yang sejelas itu.
Bukan karena ragu, melainkan karena takut. Takut merusak sesuatu yang tenang. Takut menambah luka baru bila ternyata perasaannya sepihak. Alya memiliki batas-batas tertentu dalam dirinya—batas yang lahir dari masa lalu yang tak pernah diceritakan dengan gamblang.
Mereka diam sejenak, menikmati kebiasaan hening yang dulu terasa canggung, namun kini terasa akrab.
“Foto-fotomu sudah jadi?” tanya Alya tiba-tiba.
Ardan membuka tasnya dan mengeluarkan selembar hasil cetak foto. “Yang kemarin di pantai. Ini.”
Alya mengambil foto itu. Mata cokelatnya memandang dengan saksama, bibirnya menyunggingkan senyum hangat. “Kamu punya kemampuan membuat hal paling sederhana terlihat penuh makna.”
“Karena subjeknya bagus,” balas Ardan.
Alya menoleh, menatapnya. “Aku tidak ada di foto ini.”
Ardan tersenyum lebih lebar. “Tidak harus ada kamu di dalam foto untuk membuatku ingat kamu.”
Alya diam. Ada sesuatu yang bergerak di matanya, sesuatu seperti ketakutan yang cepat disembunyikan. Ia mengalihkan pandang ke foto itu lagi.
Ardan merasa dadanya mengencang. Ia ingin berbicara, ingin meminta Alya untuk tidak takut padanya, ingin mengatakan bahwa perasaannya bukan ancaman. Tapi kata-kata itu seolah tertahan oleh udara yang tiba-tiba terasa berat.
“Ardan,” kata Alya pelan. “Ada hal… yang harus aku ceritakan.”
Ardan menoleh. “Tentang apa?”
Alya menarik napas panjang, memandang langit yang mulai berubah ungu. “Tentang seseorang dari masa laluku.”
Mereka berpindah ke bangku yang lebih sepi, dekat kolam kecil dengan air mancur yang memantulkan cahaya lampu taman. Suara gemericik air menjadi latar yang menenangkan, membuat Alya akhirnya mampu mulai bercerita.
“Sebelum aku masuk kampus ini,” katanya, “aku pernah dekat dengan seseorang. Namanya Damar.”
Ardan mendengarkan tanpa menyela, meski nama itu terasa asing sekaligus mengusik.
“Kami dekat, tapi… tidak pernah benar-benar bersama. Dia membuatku merasa aman.” Alya tersenyum getir. “Tapi dia juga orang pertama yang membuatku merasa hancur.”
Ardan menahan napas.
“Suatu hari,” lanjut Alya, “dia pergi begitu saja tanpa penjelasan. Menghilang dari semua tempat, memutus semua kontak. Dan aku—aku pikir itu salahku. Aku pikir aku tidak cukup baik, tidak cukup menarik, tidak cukup apa pun.”
Ardan ingin berkata bahwa itu bukan salah Alya. Bahwa tidak ada yang salah dengan gadis sebaik itu. Tapi ia tetap diam, memberi ruang bagi Alya.
“Aku butuh waktu lama untuk berhenti menyalahkan diri sendiri,” kata Alya. “Sampai sekarang pun kadang rasa itu muncul tiba-tiba.”
Ardan mengetuk-ngetuk jari di lututnya, mengatur napas. “Dan sekarang… dia muncul lagi?”
Alya menggeleng. “Tidak. Aku hanya merasa harus berkata jujur padamu. Karena kamu… kamu tidak seperti dia. Dan justru itu yang membuatku takut.”
Ardan terdiam. “Takut?”
Alya menatapnya, dan kali ini tidak menghindar. “Ardan, kamu orang yang baik. Kamu selalu membuatku nyaman. Tapi justru karena itu aku takut mengecewakanmu. Aku takut aku belum siap. Aku takut kamu menunggu sesuatu yang tidak bisa kuberikan sekarang.”
Ardan ingin memegang tangannya, tapi ia menahan diri.
“Aku tidak menuntut apa pun darimu,” katanya lembut. “Aku hanya ingin kamu tahu—bahwa aku ada. Dan aku tidak akan pergi begitu saja.”
Alya menunduk. “Kamu bilang begitu sekarang. Tapi kamu tidak tahu sisi burukku.”
“Semua orang punya sisi buruk,” jawab Ardan. “Bahkan aku. Tapi itu tidak membuatku ingin pergi.”
Hening lagi. Tapi hening itu berbeda dari sebelumnya—lebih berat, lebih penuh.
Alya menggigit bibirnya, seolah melawan sesuatu. Lalu berkata pelan, “Ardan, bolehkah aku… tidak memberikan jawaban apa pun sekarang?”
Ardan menatapnya lama. Lalu tersenyum kecil. “Kamu tidak perlu memberikan jawaban apa pun.”
Dan saat itu, Alya meneteskan air mata. Bukan tangis keras, hanya satu dua bulir yang mengalir perlahan. Ardan ingin menghapusnya, tapi ia tahu itu adalah momen yang harus dibiarkan mengalir tanpa intervensi.
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa, namun ada sesuatu yang berubah antara mereka. Alya lebih terbuka, tetapi juga lebih pendiam pada waktu-waktu tertentu. Seolah ia memikirkan banyak hal yang tidak diucapkan.
Suatu sore, mereka berada di perpustakaan kampus. Ardan sibuk mengedit foto di laptop, sedangkan Alya menulis sesuatu di buku catatannya.
“Ardan,” kata Alya tiba-tiba tanpa menoleh. “Menurutmu… seseorang bisa benar-benar sembuh dari rasa takut?”
Ardan berhenti mengetik. “Bergantung pada takunya. Tapi aku percaya… seseorang bisa belajar berdamai.”
Alya menutup bukunya, memegang tepinya erat-erat. “Kalau rasa takutnya adalah kehilangan orang yang disayang?”
“Ah.” Ardan menatapnya. “Kalau itu, orang tersebut harus tahu bahwa ia tidak sendiri. Dan bahwa cinta bukan ancaman.”
Alya menatap Ardan. Ada sesuatu yang bergerak di matanya—campuran harapan dan ketakutan yang ia coba sembunyikan selama ini.
“Ardan,” katanya pelan, “aku tidak ingin kamu terluka. Aku tidak ingin berharap terlalu banyak dariku.”
Ardan ingin tertawa karena betapa ironisnya hal itu. “Alya, kamu bukan beban. Kamu bukan sesuatu yang harus kupikul. Kamu… seseorang yang ingin kupahami.”
Alya memejamkan mata. “Kadang aku takut kamu akan menyesal dekat denganku.”
“Aku tidak akan menyesal,” balas Ardan. “Meskipun nanti akhirnya tidak seperti yang aku harapkan sekalipun.”
Alya terdiam. Ada sesuatu yang mencair di wajahnya.
Suatu malam, Alya mengirim pesan.
Ardan bergegas. Ia tiba di taman dengan nafas sedikit terengah. Alya duduk di bangku, memeluk lututnya sambil memandangi lampu-lampu kota yang berkelip.
“Ada apa?” tanya Ardan menggulung lengan jaketnya.
Alya menoleh—mata merah, bukan karena menangis keras, tetapi cukup untuk membuat Ardan merasa ingin memeluknya.
“Aku mimpi buruk,” katanya. “Tentang ditinggalkan. Rasanya… seperti dulu.”
Ardan duduk di sampingnya. “Itu hanya mimpi.”
“Tapi rasanya nyata.” Alya menarik napas tak teratur. “Ardan… aku takut. Takut kalau aku mulai merasa nyaman denganmu lalu suatu hari kamu pergi. Takut aku bergantung lagi.”
Ardan menatapnya lama.
“Alya,” katanya akhirnya, “aku tidak bisa menjamin hal-hal besar seperti selamanya. Tidak ada yang bisa.”
Alya menunduk.
“Tapi aku bisa menjamin satu hal.” Ardan menggeser tubuhnya sedikit lebih dekat. “Aku tidak akan pergi tanpa alasan. Dan tanpa bicara.”
Alya perlahan menoleh.
“Aku tidak seperti dia,” lanjut Ardan. “Bukan karena aku lebih baik, tapi karena aku memilih untuk tinggal.”
Alya terdiam. Lalu ia berkata dalam suara yang sangat kecil, “Ardan… bolehkah aku… memelukmu?”
Ardan mengangguk.
Alya bersandar di bahunya, dan Ardan memeluknya pelan, memastikan pelukan itu tidak mengekang. Sementara di atas mereka, langit malam terbentang luas dan tenang.
Musim hujan datang. Hari-hari berlalu dengan basah dan aroma tanah. Hubungan Ardan dan Alya tidak berubah dalam definisi, tapi berubah dalam kedekatan. Mereka tidak pernah menyebut diri sebagai apa pun, tapi setiap orang yang melihat mereka tahu ada sesuatu yang dalam di antara keduanya.
Suatu sore hujan turun sangat deras. Alya mengajak Ardan ke sebuah kafe kecil yang baru dibuka dekat stasiun. Kafe itu sepi, hanya ada beberapa pengunjung.
“Aku ada yang ingin kutunjukkan,” kata Alya sambil membuka tasnya.
Ia mengeluarkan buku catatannya—buku yang beberapa minggu lalu selalu ia peluk seperti ingin menyembunyikan isinya. Alya membukanya, menunjukkan sebuah halaman yang berisi banyak tulisan.
“Ini,” katanya, “adalah daftar hal yang membuatku takut.”
Ardan menatapnya, terkejut sekaligus bangga.
“Aku menulisnya agar aku bisa menghadapinya satu per satu.” Alya menggeser buku itu sehingga Ardan bisa membaca. “Dan kamu… membantu banyak tanpa kamu sadari.”
Ardan menatap Alya, lalu bertanya pelan, “Apa aku boleh tahu salah satu hal yang sudah berhasil kamu hadapi?”
Alya tersenyum kecil. “Takut percaya pada orang baru.”
Ardan terdiam.
“Karena kamu,” lanjut Alya, “aku akhirnya berani membuka diri lagi. Tidak semuanya… tapi sebagian. Dan itu sudah cukup bagiku sekarang.”
Ardan merasakan sesuatu hangat mengalir di dadanya. “Alya…”
Alya menatapnya dengan mata yang jujur. “Ardan, aku… mungkin belum bisa mencintai dengan cara yang sempurna. Tapi bukan berarti aku tidak ingin mencoba.”
Ardan tersenyum lembut. “Aku tidak butuh yang sempurna.”
Alya menunduk, menggenggam cangkirnya. “Jadi… bolehkah aku… mencoba berjalan bersamamu? Pelan-pelan. Dengan caraku.”
Ardan menatapnya. Ada keindahan yang tak bisa dijelaskan dalam cara Alya mengatakan hal itu. Keindahan seseorang yang patah, tapi masih berani melangkah.
“Tentu,” katanya. “Kita jalan bersama. Pelan-pelan juga tidak apa-apa.”
Alya tersenyum—senyum paling tulus yang pernah Ardan lihat.
Malam itu, sebelum berpisah di depan kafe, Ardan memanggil Alya.
“Alya.”
Alya menoleh.
“Aku boleh… memegang tanganmu?”
Alya terlihat terkejut. Tapi ia mengulurkan tangannya.
Jemari mereka bertemu—hangat, sedikit gemetar, tapi terasa benar.
Ketika mereka berjalan bersama menuju halte, hujan sudah berhenti. Dan di atas sana, langit terbuka perlahan, memperlihatkan satu bintang yang muncul di balik awan.
Alya melihat ke atas dan tersenyum. “Lihat, Ardan. Bintangnya muncul.”
Ardan menatapnya, lalu menatap langit. “Iya. Langit di atas kita selalu berubah. Tapi tetap indah.”
Alya menggenggam tangannya sedikit lebih erat. “Seperti kita?”
Ardan tertawa kecil. “Seperti kita.”
Mereka melangkah lagi—pelan, penuh harapan. Tidak sempurna, tapi nyata.
Dan di bawah langit yang perlahan cerah, Ardan tahu satu hal dengan pasti:
Cinta tidak harus dimulai dengan kepastian.
Kadang cinta dimulai dengan keberanian dua orang untuk saling menemani dalam perjalanan menjadi lebih baik.
.png)

.png)
Post a Comment for "LANGIT DI ATAS KITA"