Hujan di Ujung Senja
Senja di kota kecil itu selalu punya cara memeluk hati yang sepi. Langit oranye menyala, meneteskan cahaya lembut di jalanan yang basah karena hujan siang tadi. Aroma tanah bercampur kopi dari warung-warung kecil di pinggir jalan. Di situlah, kisah ini bermula—di sebuah halte tua yang sudah usang, di antara bau hujan dan desir angin yang dingin.
Alya duduk di kursi panjang halte, memeluk tas ranselnya. Ia baru saja keluar dari perpustakaan kampus setelah seharian mengerjakan proposal penelitian. Matanya lelah, pikirannya penat, tapi ada sesuatu yang ia sukai dari suasana sore itu: ketenangan. Sesekali ia menatap langit, menunggu bis kota yang tak kunjung datang.
Tiba-tiba, ada suara langkah cepat. Seorang pemuda berpayung hitam berhenti tepat di depan halte. Bajunya sedikit basah, rambutnya berantakan, tapi senyumnya hangat.
“Bisnya lama ya?” tanyanya sambil menutup payung.
Alya hanya mengangguk pelan. “Dari tadi belum lewat satu pun.”
Pemuda itu duduk di sampingnya, agak menjaga jarak. “Saya Raka, kebetulan sering nunggu di sini juga.”
Alya menoleh sekilas, lalu mengangguk sopan. “Alya.”
Ada jeda canggung. Keduanya hanya mendengarkan suara rintik hujan yang kembali turun tipis. Lalu, tanpa sadar, percakapan kecil mulai tumbuh—tentang cuaca, tentang kampus, tentang buku. Alya terkejut ketika tahu Raka juga suka membaca, bahkan mereka sama-sama menyukai novel klasik yang jarang dikenal orang.
“Jarang sekali ada yang baca The Garden of Evening Mists,” kata Raka. “Itu buku favorit saya.”
Alya tersenyum samar. “Itu juga yang bikin saya jatuh cinta pada cerita. Ada keindahan yang sederhana, tapi menyakitkan.”
Percakapan itu membuat mereka lupa waktu. Bis akhirnya datang, tapi mereka memilih naik bersama, duduk berdampingan di bangku belakang. Di perjalanan, mereka terus berbicara, seakan bertemu sahabat lama yang sudah lama hilang.
Hari-hari setelah itu, pertemuan mereka semakin sering. Awalnya hanya di halte, lalu di perpustakaan, lalu di kafe kecil dekat kampus. Alya mulai terbiasa dengan keberadaan Raka. Ia adalah tipe orang yang sederhana, penuh perhatian kecil yang nyaris tak terlihat tapi terasa. Membawakan payung cadangan, menuliskan catatan kecil di kertas, atau sekadar menunggu Alya selesai mengumpulkan berkas.
Bagi Alya, semua itu baru. Ia terbiasa hidup sendiri, fokus pada kuliah dan penelitian. Dunia Raka perlahan membuka ruang baru: dunia di mana ia boleh tertawa tanpa alasan, di mana ia boleh bercerita tanpa takut dihakimi.
Suatu sore, mereka duduk di tepi danau kampus. Matahari tenggelam, cahayanya keemasan, air danau berkilau seperti kaca. Raka mengambil kamera tua dari tasnya.
“Aku suka memotret senja,” katanya.
“Kenapa?” tanya Alya.
“Karena senja itu pertemuan dan perpisahan dalam satu waktu. Seperti kita yang bisa saja berpapasan lalu hilang. Tapi di dalamnya, ada keindahan yang tak bisa ditawar.”
Alya menatap Raka, merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Ada kalimat yang ingin ia ucapkan, tapi tertahan. Ia takut, takut bahwa perasaan itu terlalu cepat, terlalu rapuh. Namun, dari tatapan mata Raka, Alya tahu ia tak sendirian.
Hubungan mereka semakin dalam. Namun, seperti setiap kisah, tidak ada jalan yang selalu mulus. Raka menyimpan rahasia yang lama ia pendam: ia harus segera pergi keluar negeri untuk melanjutkan studi, beasiswa yang sudah lama ia kejar akhirnya datang. Waktu keberangkatannya hanya tinggal dua bulan.
Raka bingung. Haruskah ia jujur pada Alya sekarang, atau menunggu? Ia takut kehilangan sesuatu yang baru saja tumbuh. Tapi menunda hanya akan menyakitkan.
Suatu malam, di bawah hujan deras, Raka akhirnya berkata. Mereka berteduh di bawah atap toko buku yang sudah tutup. Alya terdiam lama setelah mendengar kabar itu.
“Kenapa baru bilang sekarang?” tanyanya lirih.
“Aku takut kamu menjauh.”
Alya menunduk, menatap genangan air yang memantulkan cahaya lampu jalan. “Aku tidak akan menjauh. Tapi aku juga tidak bisa berpura-pura tidak terluka.”
Mereka tidak berbicara lagi malam itu. Hujan turun semakin deras, seakan menggambarkan hati keduanya yang penuh keraguan.
Hari-hari berikutnya dipenuhi campuran manis dan getir. Mereka tetap bertemu, tetap berjalan bersama, tapi selalu ada bayangan perpisahan yang mengintai. Setiap senyum disertai pertanyaan: berapa lama lagi?
Suatu sore, di perpustakaan, Raka meminjamkan sebuah buku pada Alya. Di dalamnya, ada secarik kertas dengan tulisan tangan:
"Jika senja adalah pertemuan dan perpisahan, izinkan aku menjadi alasan kamu tetap menunggu esok hari."
Alya membaca tulisan itu berulang kali. Hatinya digelayuti rasa haru. Ia tahu, meski perpisahan menunggu, ada sesuatu yang tulus di antara mereka. Sesuatu yang tidak mudah hilang hanya karena jarak.
Hari keberangkatan pun tiba. Bandara penuh dengan orang-orang yang sibuk, suara pengumuman bersahutan. Raka berdiri di depan pintu keberangkatan, membawa koper dan ransel. Alya datang, wajahnya pucat tapi matanya tegas.
“Pergilah,” katanya. “Jangan takut meninggalkan. Aku akan tetap di sini, menjaga apa yang sudah kamu tinggalkan.”
Raka menahan air mata. Ia ingin memeluk Alya erat-erat, tapi hanya bisa menggenggam tangannya. “Aku akan kembali. Dan ketika aku kembali, aku ingin kita menonton senja bersama lagi.”
Mereka berpisah di sana, di ujung bandara, dengan janji yang menggantung di udara. Senja sore itu seakan ikut menyaksikan, langit memerah, menyimpan kisah dua hati yang enggan berpisah.
Bertahun-tahun berlalu. Alya tetap melanjutkan hidupnya, menyelesaikan kuliah, bekerja di sebuah penerbit kecil. Ia menulis, mengedit, dan sesekali duduk di halte tua tempat semuanya bermula. Raka menepati janjinya, mengirim surat, mengirim foto-foto senja dari berbagai belahan dunia.
Hingga suatu sore, ketika hujan turun tipis di kota kecil itu, Alya kembali menunggu di halte. Ia sudah terbiasa menunggu, tapi kali ini berbeda. Ada langkah kaki yang ia kenal, payung hitam yang pernah ia lihat.
Raka berdiri di sana, tersenyum dengan wajah yang lebih matang, tapi tatapan yang sama.
“Bisnya lama ya?” katanya, mengulang kalimat pertama mereka.
Alya menutup mulutnya, menahan tangis, lalu tertawa. “Dari dulu memang begitu.”
Dan sore itu, di bawah hujan, di halte tua yang sama, mereka akhirnya menemukan jawaban dari semua penantian. Senja tak lagi berarti perpisahan. Senja kini adalah rumah.
Post a Comment for "Hujan di Ujung Senja"