KOALA KOPI KEPANG
Jika ada hal paling aneh dalam hidupku, itu bukan ketika aku pernah jatuh dari motor karena mengejar diskon cilok lima ribu. Bukan juga ketika aku melihat kelurahan tempatku tinggal tiba-tiba menutup jalan karena ular masuk gorong-gorong dan semua warga heboh padahal ularnya cuma sebesar pensil.
Yang paling aneh adalah hari ketika aku melihat seekor koala duduk manis di sudut kedai kopi kecil di dekat rumahku.
Koala itu memakai syal rajut warna biru, memegang gelas kecil berisi latte, dan yang membuatku meragukan kewarasanku dia sedang membaca buku puisi.
Aku berdiri lama di depan pintu kedai kopi itu, menatap koala tersebut sambil merenungkan apakah aku baru saja melihat halusinasi tingkat tinggi akibat kurang tidur.
“Mas, mau masuk nggak?” tanya barista yang berdiri di mesin espresso.
Aku menunjuk koala itu. “Itu… beneran?”
Barista itu menatapku sebentar, lalu bernapas lelah seperti sudah menghadapi pertanyaan itu seribu kali.
“Oh, itu? Bukan koala beneran. Itu boneka punya pelanggan tetap.”
Aku menghela napas lega. Tentu. Boneka. Jelas boneka. Apa aku kira ini Australia?
“Pelanggan tetapnya mana?” tanyaku.
Barista mengangguk ke arah sudut lain.
Itulah pertama kalinya aku melihat Aira.
Dan koala boneka itu, katanya, bernama Kopi.
Koala Kopi Kepang karena syal birunya dikatakan mirip kepang yang dianyam.
Aku tersenyum kecil. Nama konyol. Tapi entah kenapa terasa menghangatkan hati.
Namaku Naya. 25 tahun. Pekerjaannya? Editor freelance untuk konten-konten random dari klien yang lebih random lagi. Kadang aku mengedit naskah buku. Kadang artikel kesehatan. Kadang naskah drama Korea bajakan. Kadang… skripsi teknik industri yang aku curigai dikerjakan oleh alien.
Aku sering mampir ke kedai itu untuk menyelesaikan kerjaan karena koneksi WiFi kosku suka menghilang tanpa pemberitahuan.
Sejak hari pertama itu, aku selalu melihat Aira duduk di pojok yang sama, bersama koala bonekanya.
Dan koalanya punya banyak syal—merah, hijau, ungu, kuning, bahkan satu dengan pola polkadot aneh yang mirip telur dinosaurus.
Suatu kali aku memberanikan diri bertanya.
“Itu… kenapa bonekanya yang pakai syal? Kamu sendiri nggak?”
Aira menatapku pelan, bibirnya membentuk senyum yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata selain “adem”.
“Hehe. Syal itu… aku buat untuk temanku.”
“Teman?”
Aira mengangguk. “Iya. Kopi ini… dulu hadiah dari seseorang.”
Aku hampir menanyakan apakah hadiah itu datang dari mantan, tapi dia menambahkan:
“Dari diriku sendiri.”
Aku mengerjap. “Hadiah… buat diri sendiri?”
Aku tertawa kecil. “Lucu juga.”
Aku ingin bilang dia terdengar seperti puisi berjalan, tetapi aku takut ditertawakan. Jadi aku hanya mengangguk.
Koala boneka itu terlihat seperti sedang menatap kami berdua. Kalau boneka itu hidup, dia pasti protes karena dijadikan simbol perasaan manusia.
Suatu sore saat hujan turun rintik-rintik, Aira tiba-tiba menghampiriku.
“Naya ya?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Aku lihat kamu sering ngetik sambil frustasi. Kamu penulis?”
“Editor,” jawabku. “Yang sering memperbaiki tulisan orang yang lebih amburadul daripada perasaanku.”
Aira tertawa kecil, suara ringannya berbaur dengan hujan yang mengetuk jendela kedai.
“Aku suka kalimat itu,” katanya. “Amburadul daripada perasaanku.”
Aku tersenyum canggung. “Kadang aku drama sih.”
Aira duduk di depanku tanpa diminta.
“Kamu kerja tiap hari pakai laptop itu?”
“Ya… iya.”
Aira menatap laptopku seperti sedang menatap pasien gawat darurat. “Kayaknya dia capek.”
Aku menelan ludah. “Mungkin. Aku juga.”
Dia menatapku lama. “Kamu kayak laptop itu juga?”
“Terlalu banyak tab terbuka?” aku menebak.
Aira mengangguk sambil tersenyum. “Tepat sekali.”
Aku memandangnya. “Kamu kerja apa?”
Dia mengangkat bahu. “Macam-macam. Desainer kadang, penulis kadang, pengangguran anggun kadang.”
Aku tertawa keras. Dia juga.
Hari berikutnya, kejadian aneh terjadi.
Aku sedang mengetik ketika tiba-tiba syal biru boneka itu bergeser pelan ke arah tanganku, seperti menyenggol.
“Aira… ini koalanya lagi apa?”
“Dia… cemburu,” jawab Aira enteng.
Aku terpaku. “Cemburu?”
“Dia suka diperhatikan. Tapi akhir-akhir ini kamu yang diperhatiin aku.”
Atau mungkin aku yang mulai masuk ke dunianya.
Tidak, bukan bicara beneran.
Tapi satu sore Aira memberikan kertas kecil, katanya itu “catatan dari Kopi”.
Aku membuka lipatannya.
Isinya:
Naya harus makan lebih teratur. Ngelihatin dia ngedit sampai lupa waktu bikin aku mau jungkir balik. –Kopi
Aku ingin menangis dan tertawa sekaligus.
“Ini kamu yang nulis?”
Aira memiringkan kepala. “Menurut kamu?”
“Menurut aku… kamu sengaja cari alasan buat perhatian.”
Aira menahan tawa. “Mungkin.”
“Dan kamu pakai boneka sebagai perisai.”
Aira menatapku lama, tapi matanya lembut.
“Kadang… lebih mudah menyampaikan sesuatu lewat karakter lain.”
Aku mendesah pelan. “Aira… kamu ini aneh.”
“Bagus dong.”
“Dan… menggemaskan.”
Koala bonekanya mendadak ditegakkan di depannya, seolah mau menutupi wajah pemiliknya.
Semakin hari aku makin sering ngobrol dengan Aira. Dia bercerita tentang keluarganya, tentang kesepian-kesepian kecil yang ia atasi dengan merajut, tentang pekerjaannya yang tidak stabil tapi membuatnya senang.
Aku bercerita tentang masa kecilku, kegagalanku dalam hubungan sebelumnya, dan ketakutanku membuka hati lagi.
Aku mengernyit. “Tempat?”
“Iya. Ada orang yang jadi badai. Ada yang jadi cahaya. Kamu tempat teduh.”
Suatu malam aku tidak datang ke kedai kopi karena sakit.
Naya, kamu ke mana? Kedai sepi tanpa suara keyboard kamu.
Lalu berubah dramatis:
Kopi cari-cari kamu. Dia ngerasa kamu ngilang kayak tabungan impulsif.
Kemudian berubah lembut:
Kamu sakit ya? Kalau iya, bilang. Jangan pura-pura kuat.
Dan akhirnya:
Aku ke kos kamu, boleh?
Aku mengetik pelan:
Iya, boleh.
Aira datang dengan payung dan membawa bubur ayam. Koala bonekanya ditaruh di tas, kepalanya mengintip seperti kamera CCTV murah.
“Aku boleh masuk?”
“Boleh…”
Dia duduk di sampingku, menyuapi bubur seperti ibu-ibu tapi dengan senyum yang bikin ruangan kecilku terasa lebih besar.
“Naya…”
“Hm?”
“Kamu bikin aku khawatir.”
Aku hampir tersedak bubur.
Dia memegang tangan kiriku. Hangat. Menenangkan. Menggetarkan.
Aku ingin bilang: Aku nggak akan hilang, selama kamu tetap di sini.
Tapi aku takut dia merasa itu terlalu cepat.
Semenjak aku sakit, Aira makin sering mengirim pesan.
Pagi:
Sarapan, Naya. Jangan jadi manusia tanpa bensin.
Siang:
Kamu sudah istirahat? Jangan ngetik terus.
Malam:
Kopi kangen. Aku juga sedikit…
Setiap kata-katanya masuk ke dalam diriku seperti hujan ringan yang jatuh perlahan tapi pasti membasahi tanah.
Kami makin dekat.
Setiap kali aku datang, Aira selalu menyiapkan syal baru untuk koalanya, tapi lama-lama aku sadar:
Dia merajut sambil menunggu seseorang.
Dan seseorang itu… aku.
“Kenapa kamu suka merajut?” tanyaku suatu sore.
“Gimana maksudnya?”
“Kalau benangnya kusut, kamu harus sabar. Kalau terlalu kencang, hasilnya jelek. Kalau terlalu longgar, dia mudah lepas.”
“Hati manusia juga gitu. Nggak boleh dipaksa, nggak boleh disepelekan, dan harus dijaga pelan-pelan.”
Sesuatu yang hangat, tenang, tapi kuat.
Aku sudah tahu itu apa.
Malam itu Aira memberiku amplop cokelat kecil.
“Dari Kopi,” katanya.
Aku membuka.
Isinya:
Naya, jangan takut sama cinta. Pemilikku suka kamu. Tapi dia takut kamu nggak suka dia balik. –Kopi
Aira menggigit bibir. “Aku cuma… nggak berani ngomong langsung.”
Aira mendongak cepat.
Koala bonekanya terjatuh dari meja, seolah dramatis ikut kaget.
Kedai kopi terasa lebih hangat dari biasanya.
“Naya…” katanya pelan. “Bener?”
Aku mengangguk.
Koala bonekanya selalu hadir, seperti saksi bisu dari semua kebodohan romantis kami.
Pada suatu malam ulang tahunku, Aira memberikan kado.
Sebuah syal.
“Kamu lihat?” kata Aira. “Itu kepang.”
“Kenapa kepang?”
Aira tersenyum.
“Karena kepang itu… gabungan dari tiga helai. Satu helai aku. Satu helai kamu. Dan satu helai… masa depan yang kita pilih sama-sama.”
Aku ingin menangis.
“Tapi kamu jangan pakai sekarang,” katanya cepat.
“Kenapa?”
Dia menunjuk koalanya yang memakai syal buatan paling pertama.
“Aku mau kamu jadi orang pertama, setelah dia, yang aku pakaikan syal buat ketenangan.”
Itu adalah hari terhangat dalam hidupku.
Hanya dua orang yang belajar merajut perasaan pelan-pelan.
Aira bilang:
“Kopi itu simbol hatiku yang dulu dingin. Sekarang dia hangat karena kamu.”
Aku menjawab:
“Kalau begitu, aku janji menjaga kehangatan itu.”
Aira tersenyum.
Dan seperti biasa, Kopi boneka koala itu “mengawasi” kami dari meja.
Kedai kopi kecil itu menjadi saksi dari sebuah cinta yang sederhana.
.png)
.png)
.png)
Post a Comment for "KOALA KOPI KEPANG"