GURITA GUGUP DI BAWAH RANJANGKU
Hidupku, Ardan, 24 tahun, mahasiswa tingkat akhir yang hampir lulus tapi skripsi belum satu kata pun ditulis, sebenarnya berjalan normal. Normal artinya: bangun siang, ngopi sachet rasa “karamel remuk”, scroll TikTok tiga jam, lalu bertanya pada Tuhan kapan aku jadi orang sukses padahal aku belum melakukan apa-apa.
Saat aku menyingkap seprai, makhluk itu menatapku pakai mata besar bulatnya, lalu mengangkat salah satu tentakelnya seperti melambaikan tangan.
“H… hai?” kataku.
Gurita itu mengeluarkan bunyi blub-blub dan merayap ke arahku. Aku teriak panik. Dia ikut teriak—atau lebih tepat, bergelembung panik. Dua makhluk gugup menatap satu sama lain.
Dan sialnya… dari belakang terdengar suara perempuan.
“Eh? Kamu udah ketemu sama Ucup ya?”
“Ucup?” ulangku.
Tira tersenyum. “Iya. Guritaku.”
“Maaf ya Ardan,” kata Tira sambil membungkuk sedikit. “Ucup itu suka kabur kalau gugup… atau kalau dia menangkap sinyal seseorang lagi patah hati.”
Aku mengerutkan dahi. “Kok tahu aku patah hati?”
Tira menunjukku. “Aura kamu lecek.”
Aku menatap bajuku. “Ini kaos bekas tidur…”
“Nah, kan bener.”
Ucup bergeser ke kaki Tira, masih gelisah. Dia menatapku sebentar, lalu menggulung salah satu tentakelnya seperti sedang memeluk dirinya sendiri.
“Dia kenapa kayak gitu?” tanyaku.
Tira menjawab, “Ucup tuh empatik. Kalau ada orang gugup, dia ikut gugup. Kalau ada yang sedih, dia ikut sedih. Kalau ada yang jatuh cinta…”
Aku menunggu.
“…dia langsung ngumpet.”
Aku sebenarnya sudah memperhatikan Tira sejak dia pindah dua minggu lalu. Caranya berjalan cepat seperti tokoh anime, rambutnya yang disentuh angin tapi tidak pernah berubah arah, dan suaranya yang kadang pelan tapi kadang tegas… anehnya selalu membuatku ingin menerjemahkan setiap kalimatnya.
“Boleh aku ambil Ucup?” tanya Tira.
Aku mengangguk. “Silakan…”
“Hah?” Tira kaget. “Ini baru pertama kalinya dia nempel sama orang baru.”
Aku menunjuk diriku sendiri. “Kenapa harus aku?”
Tira menggeser kacamatanya. “Mungkin kamu gugup banget. Ucup tuh suka manusia yang gugup. Dia merasa ada temannya.”
“Tenang, aku nggak ngejek,” katanya. “Justru… lucu.”
Kalimat “kamu lucu” itu membuatku merasa dilempar ke langit-langit kos.
Dan Ucup ikut makin menggulung tentakelnya seperti kipas angin yang kepanasan.
Sejak hari itu, Tira sering datang ke pintu kamarku. Kadang mengetuk, kadang langsung masuk sambil membawa Ucup di ember kecil.
“Ardan,” katanya suatu sore, “aku mau minta tolong. Bisa temenin aku belajar soal perilaku hewan laut?”
“Kenapa aku?”
“Karena Ucup suka kamu.”
Seolah dia tahu perasaan yang belum kuucapkan.
Hatiku bergetar seperti speaker rusak.
Suatu hari, Tira curhat:
“Aku tuh susah percaya sama orang, Dan. Makanya aku suka hewan. Mereka jujur. Kalau mereka suka, ya suka. Kalau nggak, ya pergi.”
Aku mengangguk. “Manusia… lebih rumit ya?”
Tira tersenyum miris. “Banget.”
Lalu ia menatapku agak lama.
“Mungkin itu kenapa aku nyaman sama kamu.”
Dadaku langsung mendidih.
Setiap Tira tidak ada, aku dan Ucup seperti dua cowok dalam film yang terjebak di rumah.
“Aku sayang dia,” kataku ke Ucup.
“Cuma aku takut dia nggak suka aku balik.”
Kadang Tira ketiduran di lantai kosku saat kami belajar.
Kadang Ucup ikut tidur di dadaku seperti bantal hidup.
“Dan, kok tegang banget?” tanya Tira.
Aku menarik napas. “Aku… mau bilang sesuatu.”
“Blub!”
Tira kaget. “Ucup kenapa?!”
Aku mencoba bicara lagi.
“Tira, aku—”
Ucup langsung nempel di bibirku.
MENGECAP BIBIRKU.
Bukan ciuman… tapi cukup untuk menghentikan semua momen romantis yang mungkin terjadi.
“Ardan… kamu lucu banget ya. Aku nggak bisa serius kalau kamu begini!”
Ucapan itu seperti menaruh batu besar di atas dadaku.
Lagi-lagi aku gagal.
Dan Tira… tidak menyadari apa pun.
“Tira? Kamu kenapa?” tanyaku.
Dia menoleh, tersenyum kaku.
“Aku dapat kesempatan magang, Dan. Di Surabaya.”
Aku diam.
“Sebulan lagi berangkat.”
Dadaku langsung nyeri.
Tira melanjutkan, “Aku senang banget… tapi juga takut. Dan… aku nggak mau kehilangan teman baik.”
Aku tersenyum palsu. “Aku ikut senang kok!”
Dan aku belum bilang apa pun.
Aku bangun, mengetuk pintu kamarnya.
Tira membuka pintu setengah mengantuk. “Dan? Ada apa?”
“Boleh… kita ngomong sebentar?”
Kami duduk di balkon.
“Tira,” kataku, “aku… selama ini…”
Namun sebelum aku melanjutkan,
Tira bicara duluan.
“Dan,” katanya pelan, “kalau kamu mau jujur… aku juga mau jujur.”
Aku menoleh cepat.
Aku membeku.
“… tapi aku takut.”
Aku ingin bertanya kenapa, tapi Tira melanjutkan:
“Aku takut kamu cuma baik karena kamu orang baik. Bukan karena kamu suka aku.”
“Tira,” kataku, “aku sayang kamu dari awal.”
“Kenapa baru bilang sekarang, Dan?” suaranya retak.
Tapi ya… apa gunanya semua alasan itu?
Aku mendekat, memegang tangannya.
“Aku takut. Tapi aku lebih takut kehilangan kamu tanpa pernah nyoba.”
Ucup langsung turun ke pangkuannya, memberi pelukan versi gurita.
Tira tersenyum sambil menangis dan berkata:
“Ardan… boleh aku minta satu hal sebelum aku pergi?”
“Apa pun.”
“Jangan lupain aku.”
Aku menggenggam tangannya erat.
“Lupain kamu? Aku bahkan nggak bisa berhenti mikirin kamu.”
Besoknya aku mengantar Tira sampai pintu gerbang kos.
Dia membawa koper, tas ransel, dan… ember kecil berisi Ucup.
“Aku bawa dia,” katanya. “Biar aku nggak gugup.”
Aku terkekeh. “Jadi selama ini aku bersaing sama gurita?”
“Tentu saja,” jawabnya sambil mencubit lenganku. “Dia hero di hidupku.”
“Dan,” katanya, “tunggu aku, ya?”
Tira tersenyum, memelukku singkat, lalu pergi.
Ucup menatapku sambil mengangkat tentakelnya seperti melambai.
Setelah mereka menghilang dari pandangan, aku berdiri lama di depan gerbang.
Karena untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak lagi gugup soal cinta.
Seperti gurita kecil yang mengajariku keberanian.
.png)

.png)
Post a Comment for "GURITA GUGUP DI BAWAH RANJANGKU"