Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
Tambnas Shopee Collaboration

GURITA GUGUP DI BAWAH RANJANGKU

Hidupku, Ardan, 24 tahun, mahasiswa tingkat akhir yang hampir lulus tapi skripsi belum satu kata pun ditulis, sebenarnya berjalan normal. Normal artinya: bangun siang, ngopi sachet rasa “karamel remuk”, scroll TikTok tiga jam, lalu bertanya pada Tuhan kapan aku jadi orang sukses padahal aku belum melakukan apa-apa.

Semua normal—
sampai aku menemukan seekor gurita di bawah ranjangku.

Bukan gurita biasa.
Gurita itu… pakai bandana kotak-kotak.
Dan tampak… gugup.

Gugup.
GURITA.
GUGUP.

Saat aku menyingkap seprai, makhluk itu menatapku pakai mata besar bulatnya, lalu mengangkat salah satu tentakelnya seperti melambaikan tangan.

“H… hai?” kataku.

Gurita itu mengeluarkan bunyi blub-blub dan merayap ke arahku. Aku teriak panik. Dia ikut teriak—atau lebih tepat, bergelembung panik. Dua makhluk gugup menatap satu sama lain.

Dan sialnya… dari belakang terdengar suara perempuan.

“Eh? Kamu udah ketemu sama Ucup ya?”

Aku menoleh.
Di depan pintu kamarku berdiri Tira—tetangga baruku. Perempuan berkacamata dengan poni yang selalu miring 17 derajat ke kiri. Dia memeluk setumpuk buku. Di tangannya ada label: Biologi Kelautan – Ujian Akhir.

“Ucup?” ulangku.

Tira tersenyum. “Iya. Guritaku.”

Aku menatap gurita berbadan bulat itu.
Dia mengangkat tentakelnya pelan.
Masih gugup.
Seperti aku ketika mendekati perempuan cantik.

“Maaf ya Ardan,” kata Tira sambil membungkuk sedikit. “Ucup itu suka kabur kalau gugup… atau kalau dia menangkap sinyal seseorang lagi patah hati.”

Aku mengerutkan dahi. “Kok tahu aku patah hati?”

Tira menunjukku. “Aura kamu lecek.”

Aku menatap bajuku. “Ini kaos bekas tidur…”

“Nah, kan bener.”

Ucup bergeser ke kaki Tira, masih gelisah. Dia menatapku sebentar, lalu menggulung salah satu tentakelnya seperti sedang memeluk dirinya sendiri.

“Dia kenapa kayak gitu?” tanyaku.

Tira menjawab, “Ucup tuh empatik. Kalau ada orang gugup, dia ikut gugup. Kalau ada yang sedih, dia ikut sedih. Kalau ada yang jatuh cinta…”

Aku menunggu.

“…dia langsung ngumpet.”

Aku tidak tahu harus tertawa atau merasa tersindir.
Yang jelas, Ucup seolah menatapku sambil berkata: “Please jangan bikin aku stres, Mas.”

Aku sebenarnya sudah memperhatikan Tira sejak dia pindah dua minggu lalu. Caranya berjalan cepat seperti tokoh anime, rambutnya yang disentuh angin tapi tidak pernah berubah arah, dan suaranya yang kadang pelan tapi kadang tegas… anehnya selalu membuatku ingin menerjemahkan setiap kalimatnya.

Tapi aku pengecut.
Dan aku gugup.
Dan Ucup—ternyata—menangkap itu.

“Boleh aku ambil Ucup?” tanya Tira.

Aku mengangguk. “Silakan…”

Tapi saat ia hendak mengambil Ucup, gurita itu malah menempel padaku.
MELENGKET.
Seperti stiker dilem panas.

“Hah?” Tira kaget. “Ini baru pertama kalinya dia nempel sama orang baru.”

Aku menunjuk diriku sendiri. “Kenapa harus aku?”

Tira menggeser kacamatanya. “Mungkin kamu gugup banget. Ucup tuh suka manusia yang gugup. Dia merasa ada temannya.”

Aku terdiam.
Tira tertawa kecil.

“Tenang, aku nggak ngejek,” katanya. “Justru… lucu.”

Kalimat “kamu lucu” itu membuatku merasa dilempar ke langit-langit kos.

Dan Ucup ikut makin menggulung tentakelnya seperti kipas angin yang kepanasan.

Sejak hari itu, Tira sering datang ke pintu kamarku. Kadang mengetuk, kadang langsung masuk sambil membawa Ucup di ember kecil.

“Ardan,” katanya suatu sore, “aku mau minta tolong. Bisa temenin aku belajar soal perilaku hewan laut?”

“Kenapa aku?”

“Karena Ucup suka kamu.”

Ucup mengangguk.
AKU SAKSI HIDUP.
HEWAN ITU BISA MENGANGGUK.

Akhirnya kami menghabiskan banyak waktu bareng.
Belajar bareng.
Diskusi bareng.
Ngopi sachet rasa “gula lebih banyak dari kopi”-bareng.

Setiap kali aku gugup, Ucup ikut gugup.
Setiap kali Tira tertawa, Ucup loncat-loncat di embernya.
Dan setiap kali aku menatap Tira terlalu lama… Ucup langsung kabur ke bawah ranjang.

Seolah dia tahu perasaan yang belum kuucapkan.

Aku jatuh cinta pada Tira.
Sebuah fakta yang jelas bagi siapa pun… kecuali Tira sendiri.

Aku mencoba mengabaikan, tapi setiap kali Tira bilang:
“Ardan, kamu baik banget,”
atau
“Ardan, kalau kamu nggak ada aku nggak bisa selesai tugas,”
atau
“Ardan, nanti aku pindah setelah kelar semester…”

Hatiku bergetar seperti speaker rusak.

Suatu hari, Tira curhat:

“Aku tuh susah percaya sama orang, Dan. Makanya aku suka hewan. Mereka jujur. Kalau mereka suka, ya suka. Kalau nggak, ya pergi.”

Aku mengangguk. “Manusia… lebih rumit ya?”

Tira tersenyum miris. “Banget.”

Lalu ia menatapku agak lama.

“Mungkin itu kenapa aku nyaman sama kamu.”

Dadaku langsung mendidih.

Dan Ucup…
langsung pingsan.
Di ember.

Setiap Tira tidak ada, aku dan Ucup seperti dua cowok dalam film yang terjebak di rumah.

“Aku sayang dia,” kataku ke Ucup.

Ucup membalas dengan gelembung pelan.
Aku menganggap itu sebagai: “Gue ngerti, bro.”

“Cuma aku takut dia nggak suka aku balik.”

Ucup menggelinding ke arahku.
Lalu nempel di wajahku.
Seperti masker wajah paling mahal di dunia.

Aku paham maksudnya:
“Stop overthinking, manusia goblok.”

Hubungan kami makin dekat.
Terlalu dekat.

Kadang Tira ketiduran di lantai kosku saat kami belajar.

Kadang Ucup ikut tidur di dadaku seperti bantal hidup.

Kadang aku menatap Tira lama-lama—
sampai akhirnya Ucup menutupi mukaku dengan tentakelnya, seolah bilang:
“Jangan naksir keras-keras, nanti aku stres.”

Tapi perasaan itu makin tumbuh.
Dan makin sulit disembunyikan.

Aku sudah siap.
Siap untuk menyatakan perasaan.

“Dan, kok tegang banget?” tanya Tira.

Aku menarik napas. “Aku… mau bilang sesuatu.”

Tira menatapku.
Sungguh-sungguh.

Tapi baru aku buka mulut,
UCUP NAIK KE KEPALAKU.
Dengan gaya panik.

“Blub!”

Tira kaget. “Ucup kenapa?!”

Aku mencoba bicara lagi.

“Tira, aku—”

Ucup langsung nempel di bibirku.

MENGECAP BIBIRKU.

Bukan ciuman… tapi cukup untuk menghentikan semua momen romantis yang mungkin terjadi.

Tira ngakak.
Terbahak-bahak.
Sampai air matanya keluar.

“Ardan… kamu lucu banget ya. Aku nggak bisa serius kalau kamu begini!”

Ucapan itu seperti menaruh batu besar di atas dadaku.

Lagi-lagi aku gagal.

Dan Tira… tidak menyadari apa pun.

Belakangan, Tira semakin sibuk.
Dia jarang ke kamarku.
Ucup lebih sering berada di kamarnya.

Suatu malam aku lihat pintu kamarnya terbuka.
Dia duduk di meja belajar, wajahnya pucat.

“Tira? Kamu kenapa?” tanyaku.

Dia menoleh, tersenyum kaku.

“Aku dapat kesempatan magang, Dan. Di Surabaya.”

Aku diam.

“Sebulan lagi berangkat.”

Dadaku langsung nyeri.

Tira melanjutkan, “Aku senang banget… tapi juga takut. Dan… aku nggak mau kehilangan teman baik.”

Teman.
Kata itu seperti dijatuhkan ke telingaku dengan palu godam.

Aku tersenyum palsu. “Aku ikut senang kok!”

Tira menatapku.
Seolah tahu aku bohong.
Tapi tidak mau memaksaku bercerita.

Ucup merayap ke arahku.
Dia nempel di kakiku pelan.

Aku tahu artinya:
“Jangan nyerah.”

Aku tidak bisa tidur.
Tira akan berangkat besok.

Dan aku belum bilang apa pun.

Aku bangun, mengetuk pintu kamarnya.

Tira membuka pintu setengah mengantuk. “Dan? Ada apa?”

Aku menelan ludah.
Ucup berada di atas kepalanya, seperti topi hidup.

“Boleh… kita ngomong sebentar?”

Kami duduk di balkon.

Angin malam pelan.
Lampu kos redup.
Dan jantungku berdebar seperti diseret kereta.

“Tira,” kataku, “aku… selama ini…”

Namun sebelum aku melanjutkan,

Tira bicara duluan.

“Dan,” katanya pelan, “kalau kamu mau jujur… aku juga mau jujur.”

Aku menoleh cepat.

Tira tersenyum lemah.
“Sejak awal aku suka kamu.”

Aku membeku.

“… tapi aku takut.”

Aku ingin bertanya kenapa, tapi Tira melanjutkan:

“Aku takut kamu cuma baik karena kamu orang baik. Bukan karena kamu suka aku.”

Aku hampir tertawa.
Kalau saja tidak sedang mau meledak.

“Tira,” kataku, “aku sayang kamu dari awal.”

Hening.
Kecuali bunyi blub kecil dari Ucup.

Tira menatapku.
Matanya bergetar.

“Kenapa baru bilang sekarang, Dan?” suaranya retak.

Karena aku takut.
Karena aku gugup.
Karena aku pengecut.

Tapi ya… apa gunanya semua alasan itu?

Aku mendekat, memegang tangannya.

“Aku takut. Tapi aku lebih takut kehilangan kamu tanpa pernah nyoba.”

Tira menutup mulut dengan tangan.
Menangis.

Ucup langsung turun ke pangkuannya, memberi pelukan versi gurita.

Tira tersenyum sambil menangis dan berkata:

“Ardan… boleh aku minta satu hal sebelum aku pergi?”

“Apa pun.”

“Jangan lupain aku.”

Aku menggenggam tangannya erat.

“Lupain kamu? Aku bahkan nggak bisa berhenti mikirin kamu.”

Dia tidak menciumku malam itu.
Kami hanya berdiam lama.

Karena kami tahu: perpisahan tidak bisa dihindari.
Tapi bukan berarti perasaan ikut pergi.

Besoknya aku mengantar Tira sampai pintu gerbang kos.

Dia membawa koper, tas ransel, dan… ember kecil berisi Ucup.

“Aku bawa dia,” katanya. “Biar aku nggak gugup.”

Aku terkekeh. “Jadi selama ini aku bersaing sama gurita?”

“Tentu saja,” jawabnya sambil mencubit lenganku. “Dia hero di hidupku.”

Aku menatapnya lama.
Tidak ingin melepaskan.

“Dan,” katanya, “tunggu aku, ya?”

Aku mengangguk.
“Dari awal aku udah nunggu kamu.”

Tira tersenyum, memelukku singkat, lalu pergi.

Ucup menatapku sambil mengangkat tentakelnya seperti melambai.

Dan ya… gurita itu juga menangis.
Air matanya menetes kecil.

Setelah mereka menghilang dari pandangan, aku berdiri lama di depan gerbang.

Tersenyum.
Merasa sakit.
Tapi juga hangat.

Karena untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak lagi gugup soal cinta.

Aku hanya menunggu.
Dengan sabar.
Dengan mantap.

Seperti gurita kecil yang mengajariku keberanian.

Post a Comment for "GURITA GUGUP DI BAWAH RANJANGKU"

toko yang sangat terpercaya