Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
Tambnas Shopee Collaboration

(EPISODE 1) BAKAT DARI TANAH BATO - LAPANGAN HIJAU TANPA STADION



Tanah Bato adalah sebuah kampung yang begitu damai di antara bukit-bukit rendah yang hijau. Orang-orang mengenal kampung itu bukan karena kemewahan, bukan karena pusat perbelanjaan atau keramaian kota, melainkan karena satu hal sederhana: lapangannya.

Lapangan Tanah Bato cukup terawat. Rumputnya tidak sempurna seperti stadion profesional, tapi cukup rapi dan lembut dipijak. Tidak ada bangku penonton, tidak ada tribun, tidak ada pagar pembatas—hanya lapangan luas dan hijau yang seakan menjadi jantung kampung itu. Anak-anak berlarian bebas, orang tua menonton dari pinggir sambil duduk di batu besar atau bersandar pada pohon.

Dan di lapangan sederhana namun penuh kehidupan inilah seorang anak kecil bernama Emir mulai merajut mimpinya.


Setiap sore, ketika cahaya matahari mulai berubah menjadi lembut dan langit menjadi jingga, Emir selalu menjadi anak pertama yang tiba di lapangan. Ia membawa satu bola yang warnanya mulai pudar, tapi masih utuh dan keras. Ia menaruh tas kecilnya di tepi lapangan, lalu mulai berlatih menggiring bola tanpa menunggu teman-temannya datang.

Bagi Emir, rumput lapangan Tanah Bato adalah sahabat terbaiknya. Ia hafal setiap lekukan tanah, setiap tonjolan kecil, bahkan daerah mana yang lebih licin ketika hujan semalam. Mungkin karena itulah ia mampu menggiring bola dengan kontrol yang luar biasa.

Teman-temannya dari tim kampung Porseto Tanah Bato sering bilang bahwa Emir punya “kaki ajaib”. Walau kata itu sering diucapkan sambil bercanda, Emir diam-diam menyimpannya sebagai motivasi.

“Kau lihat, Emir datang lagi paling awal,” kata Dafa, penjaga gawang Porseto. “Pasti nanti dia tambah jago lagi.”

“Yang penting jangan buat kita pusing saja,” sahut Miko, si anak paling banyak tingkah yang sering jadi bek, walau tubuhnya kurus. “Kalau Emir sudah pakai jurus itu, aku langsung hilang arah.”

“Jurus apa?” tanya Dafa sambil pura-pura tidak tahu.

Bato Spin Dribble lah! Kau tahu itu!” Miko kesal, membuat anak-anak lain tertawa.

Benar. Bato Spin Dribble adalah teknik yang membuat Emir berbeda dari anak-anak lain. Gerakan itu berupa putaran cepat sambil menahan bola dengan telapak kaki bagian dalam. Dalam satu putaran, bola seolah menghilang sebentar di balik tubuh Emir. Ketika putaran selesai, bola sudah berada di tempat yang tidak diduga lawan.

Teknik itu muncul begitu saja. Tidak diajari siapa pun. Waktu umur sembilan tahun, Emir iseng berputar untuk menghindari Miko yang datang dari arah depan. Tidak disangka, bola ikut terseret putaran itu dan melewati kaki Miko. Sejak hari itu, Emir mengulanginya ratusan kali hingga gerakan itu menjadi ciri khasnya.


Walaupun masih anak-anak, Emir punya disiplin yang jarang dimiliki teman-temannya. Ia tidak hanya bermain, tetapi benar-benar berlatih. Ia menekuni kecepatan, keseimbangan, dan sentuhan bola. Kadang ia berlatih hanya dengan satu kaki selama lima belas menit, untuk memperkuat otot pergelangan dan meningkatkan kelincahan.

Tetapi di balik semangatnya, ada sesuatu yang selalu mendorongnya: kata-kata Papa.

“Emir, kalau mau jadi pemain bola, ingat satu hal,” ujar Papa suatu malam ketika mereka makan bersama. “Semua pemain bisa berlari, menendang, dan mencetak gol. Tapi hanya pemain besar yang bermain dengan hati.”

Emir belum benar-benar paham makna kalimat itu, tapi ia sangat menyimpannya.

Setelah makan malam, Emir duduk di halaman, memandangi bola yang ia bawa dari lapangan.

Mama keluar sambil membawa segelas susu. “Latihan tadi capek, nak?”

Emir menggeleng, mengambil susu itu. “Tidak, Ma. Emir suka. Lapangan itu… tempat Emir merasa paling hidup.”

Mama tersenyum lembut. “Asal Emir bahagia dan ingat waktu, Mama dukung selalu.”

Emir memeluk bola itu lebih erat.


Keesokan harinya, ketika latihan Porseto dimulai, Pak Surapati—mantan pemain amatir yang kini sering memperhatikan latihan anak kampung itu—mendekat. Meski rambutnya memutih, matanya masih menyala.

“Emir,” panggilnya. “Coba tunjukkan gerakan yang kemarin. Yang buat si Miko terpeleset itu.”

Miko langsung protes. “Pak! Jangan disebutkan! Emir nanti makin sombong, Pak!”

Emir tertawa kecil. Ia menaruh bola di tengah, lalu memberi isyarat agar Miko dan Dafa menghadangnya.

Ketika Emir berlari mendekat, anak-anak lain mundur sedikit. Mereka tahu apa yang akan terjadi.

Dalam satu detik yang terasa panjang, Emir memutar tubuhnya cepat, kakinya mengoper bola dalam gerakan bundar. Mata semua orang terpaku pada putaran itu. Rumput terangkat sedikit, bola seakan lenyap di balik tubuh Emir.

Satu putaran. Dua putaran.

Dan Emir sudah berada di belakang dua temannya, meninggalkan mereka kebingungan.

Pak Surapati mengangguk pelan, bukan kaget, tetapi bangga.

“Gerakan itu… sangat halus,” katanya. “Emir, kau punya sesuatu yang tidak diajarkan. Kau punya rasa terhadap bola.”

Emir menunduk. “Terima kasih, Pak.”

“Tapi ingat,” kata Pak Surapati. “Yang membuatmu istimewa bukan hanya gerakanmu. Tapi kemauanmu.”

Emir mengangguk dalam-dalam.

Ia merasakan sesuatu di dadanya—sebuah getaran kecil yang menggambarkan awal dari mimpi besar.


Hari itu menjadi hari pertama Emir benar-benar mengerti bahwa ia tidak hanya bermain sepak bola.

Ia hidup di dalamnya.

Dan lapangan Tanah Bato yang sederhana—tanpa stadion, tanpa tribun—menjadi saksi pertama perjalanan panjang seorang anak yang kelak ingin membawa mimpinya jauh dari kampung kecil itu menuju dunia besar.

Post a Comment for "(EPISODE 1) BAKAT DARI TANAH BATO - LAPANGAN HIJAU TANPA STADION"

toko yang sangat terpercaya