(EPISODE 3) BAKAT DARI TANAH BATO - UNDANGAN MISTERIUS DARI SIJUNJUNG
Turnamen antar-nagari berakhir dengan gemilang bagi Porseto Tanah Bato. Mereka tidak menjadi juara umum, tetapi permainan Emir membuat heboh semua penonton dan pelatih yang hadir. Setiap kali Emir menyentuh bola, sorakan terdengar. Setiap ia melakukan Bato Spin Dribble, anak-anak di pinggir lapangan berteriak seperti menonton pertandingan profesional.
Namun Emir tidak merasa lebih hebat dari siapa pun. Ia hanya merasa… harus menjadi lebih baik lagi.
Beberapa hari setelah turnamen, saat Emir sedang berlatih sendiri di lapangan, seorang pria berseragam olahraga merah hitam datang mendekat. Kaosnya bertuliskan Persiju Sijunjung—klub pelajar terkenal yang sering menjuarai berbagai turnamen tingkat kabupaten.
Emir berhenti berlatih. Pria itu tersenyum ramah.
“Kamu Emir?” tanyanya.
Emir mengangguk, hati sedikit berdebar. “Iya, Pak.”
Pria itu mengulurkan tangan. “Saya Coach Roni, pelatih Persiju U-12. Saya datang jauh-jauh dari Sijunjung karena ingin melihat kamu bermain.”
Emir kaget. “Emir?”
“Ya,” jawab pelatih itu sambil tertawa kecil. “Rumor tentangmu cepat sekali menyebar. Katanya kamu punya teknik putar yang aneh itu.”
Emir menggaruk kepala. “Bato Spin Dribble, Pak…”
“Ya! Itu dia!” Pelatih Roni menepuk tangan. “Aku ingin melihatnya, boleh?”
Emir menelan ludah. Ia menaruh bola kembali di tanah. “Siap, Pak.”
Coach Roni memanggil seorang remaja berusia sekitar 14 tahun yang mengikutinya. “Riyan, cover dia.”
Riyan, pemain muda yang tubuhnya lebih besar dari Emir, memasang posisi siap.
Emir mulai menggiring. Riyan menutup jalur dengan cepat. Emir menundukkan badan, mengarahkan bola ke kiri…
Kemudian tubuhnya berputar.
Sekali.
Dua kali.
Dalam satu gerakan rapat, tubuh Emir seperti berputar di atas porosnya, bola tetap menempel seolah terikat.
Riyan terlewat setengah langkah.
Emir pun keluar dari tekanan dan membawa bola menjauh.
Coach Roni terpesona. “Luar biasa… Anak seusia ini bisa punya kontrol seperti itu?”
Riyan mengangkat tangan menyerah. “Pak… saya tidak bisa baca gerakannya.”
Pelatih itu mendekat ke Emir, menatapnya dengan mata berbinar.
“Emir, dengar. Minggu depan akan ada seleksi pemain untuk Porprov. Persiju Sijunjung sedang mencari pemain berbakat. Dan saya ingin kamu ikut seleksi itu.”
Jantung Emir berdentum cepat. Seleksi Porprov? Itu bukan sekadar turnamen kampung. Itu panggung yang jauh lebih besar.
“Tapi… Emir masih sekolah, Pak,” katanya ragu.
Pelatih Roni tersenyum. “Kami tidak memaksa. Tapi… bakatmu terlalu besar kalau hanya berhenti di lapangan ini.”
Emir menunduk, memandang rumput lapangan Tanah Bato yang menjadi rumahnya selama ini.
“Bolehkah Emir bicara dulu dengan Papa dan Mama?”
“Tentu,” jawab pelatih itu.
Papa dan Mama berdiskusi panjang malam itu. Emir duduk gelisah, memainkan jari-jarinya di meja.
“Kau yakin mau ikut seleksi itu, Emir?” tanya Papa.
Emir mengangguk. “Emir mau coba, Pa. Emir ingin tahu… apakah Emir bisa bermain lebih jauh dari Tanah Bato.”
Mama memegang tangan Emir. “Kalau itu membuatmu bahagia, Mama dukung. Tapi ingat, sekolah tetap nomor satu.”
Emir tersenyum lega. “Iya, Ma.”
Papa menepuk bahu Emir. “Baik. Kita ke Sijunjung minggu depan.”
Malam itu Emir tidur dengan wajah menengadah ke langit-langit, seolah melihat masa depan samar yang perlahan terbentuk.
Hari seleksi pun tiba.
Lapangan di Sijunjung jauh lebih besar dan terawat. Walau tetap bukan stadion, lapangannya seperti surga bagi anak-anak desa. Ada garis yang jelas, gawang yang lebih kokoh, dan tanah yang rata.
Anak-anak dari berbagai nagari berkumpul, semuanya bertubuh lebih besar, lebih cepat, dan terlihat lebih berpengalaman.
Emir mengecilkan tubuhnya sedikit.
Dafa berdiri di sampingnya karena ikut mengantar. “Emir… kau pasti bisa. Ingat kata Papa kau.”
Emir menarik napas panjang. “Bermain dengan hati.”
Peluit seleksi ditiup.
Latihan dimulai dari dribble zig-zag, passing cepat, lalu duel satu lawan satu.
Saat giliran Emir melawan pemain lain, semua mata tertuju padanya.
T lawannya bernama Harif—tinggi, cepat, dan punya tubuh besar. Banyak yang gugur melawannya.
“Siap?” tanya pelatih.
“Siap,” jawab Emir pelan.
Bola bergulir.
Harif datang dengan intensitas tinggi.
Emir menahan bola sesaat… lalu memutar tubuhnya.
Putaran pertama, Harif mengimbangi.
Putaran kedua, Harif mulai goyah.
Putaran ketiga—
“Eh?!”
Dalam sekejap, Emir lolos di sisi kiri, meninggalkan Harif tanpa kesempatan.
Seisi lapangan bersorak.
Pelatih Roni tersenyum puas.
“Baik, Emir,” katanya sambil menulis sesuatu. “Kamu… LULUS seleksi.”
Emir membuka mata lebar-lebar. “Emir… lulus?”
“Ya,” ujar pelatih itu. “Selamat datang di Persiju Sijunjung.”
Papa memeluk Emir. Mama menahan air mata bangga. Dan Dafa bersorak paling keras.
Hari itu bukan hanya kemenangan bagi Emir.
Itu adalah awal perjalanan baru.
Emir tidak lagi hanya bocah berbakat dari Tanah Bato.
.png)

.png)
Post a Comment for "(EPISODE 3) BAKAT DARI TANAH BATO - UNDANGAN MISTERIUS DARI SIJUNJUNG"