(EPISODE 4) BAKAT DARI TANAH BATO - HARI BERAT BERSAMA PERSIJU SIJUNJUNG
Masuknya Emir ke Persiju Sijunjung menjadi berita besar di kampung Tanah Bato. Anak-anak kecil menirukan Bato Spin di lapangan sore hari. Orang-orang tua bercerita di warung bahwa “anak si itu punya masa depan cerah.” Bahkan beberapa guru di sekolah mulai bertanya apakah Emir masih sempat belajar.
Namun bagi Emir, semua itu hanyalah suara latar. Yang ia pikirkan hanyalah satu hal:
Bagaimana agar ia pantas memakai seragam Persiju?
Hari pertama latihan di Sijunjung terasa berbeda. Lapangannya lebih luas dari Tanah Bato, tanahnya rata, garis kotaknya jelas, dan bola yang digunakan lebih keras serta lebih berat.
Pelatih Roni berdiri tegap sambil memegang peluit. “Selamat datang, para pemain muda. Kalian bukan lagi anak kampung biasa. Kalian calon pemain Porprov. Di sini, kerja keras menentukan apakah kalian layak masuk skuad utama atau tidak.”
Anak-anak mengangguk, beberapa tampak tegang.
Emir berdiri di barisan tengah, menatap lurus ke depan.
“Latihan kita dimulai dari fisik,” kata pelatih.
Anak-anak langsung merengut.
Latihan fisik Persiju terkenal keras. Bukan sekadar lari, tapi lari penuh interval, sprint, kemudian dilanjutkan dengan latihan kekuatan kaki.
“40 putaran lapangan,” ujar Pelatih Roni.
“Hah?! Empat puluh?!” terdengar keluhan.
Tapi tidak ada yang berani membantah.
Emir memulai lari dengan tenang. Tapi setelah 15 putaran, napasnya mulai berat. Setelah 20 putaran, kakinya mulai panas. Setelah 25 putaran, peluh membasahi wajahnya.
Di putaran ke-30, bahunya terasa berat. Banyak pemain lain mulai kehabisan tenaga, beberapa berhenti dan duduk di rumput.
Emir ingin berhenti. Ingin duduk sebentar. Tapi suara Papa teringat:
"Yang membedakan pemain hebat dan pemain biasa adalah hati."
Emir menggigit bibir. Ia memaksa kaki untuk terus bergerak.
Putaran ke-35.
Putaran ke-38.
Putaran ke-40—
Emir terjatuh saat melewati garis finish.
“Emir!” Pelatih Roni segera berlari menghampiri.
Anak-anak lain mendekat. Emir mencoba bangkit tapi lututnya lemas.
“Kamu memaksakan diri?” tanya pelatih.
Emir menggeleng sambil tersenyum lelah. “Emir hanya… tidak ingin menyerah, Pak.”
Pelatih Roni terdiam beberapa detik.
“Bangunlah,” katanya akhirnya. “Aku tidak butuh pemain sempurna. Aku butuh pemain yang tidak mau menyerah.”
Dengan bantuan rekan-rekan barunya, Emir bangkit perlahan.
Hari itu ia pulang dengan kaki gemetar, tapi hatinya penuh keyakinan bahwa ia berada di tempat yang tepat.
Minggu-minggu berikutnya menjadi hari-hari berat. Latihan tak kenal ampun:
-
Latihan passing cepat
-
Latihan first touch dengan bola berat
-
Duel satu lawan satu
-
Simulasi permainan tekanan tinggi
-
Sprint 200 meter berulang-ulang
Di tengah semua itu, ada satu pemain yang selalu mengawasi Emir dengan tatapan tajam: Fajri, gelandang utama Persiju yang terkenal sebagai pemain paling disiplin sekaligus paling keras kepala.
Suatu sore, setelah latihan kelar, Fajri menghampiri Emir.
“Kamu ini anak baru dari Tanah Bato, kan?” tanyanya.
“Iya,” jawab Emir sopan.
Fajri menatapnya dari bawah sampai atas. “Gerakan putarmu itu… bagus. Tapi jangan pikir itu cukup untuk Porprov.”
Emir tersenyum. “Emir tahu. Emir mau belajar lebih banyak.”
Fajri mendengus. “Kita lihat saja nanti. Jangan cuma jadi anak yang suka atraksi.”
Itu bukan hinaan. Itu tantangan.
Dan Emir menerimanya dalam hati.
Waktu berjalan cepat.
Seleksi internal menentukan siapa yang berangkat ke Porprov tinggal dua minggu lagi. Dalam latihan, performa Emir makin stabil. Ia tidak hanya mengandalkan Bato Spin, tetapi juga belajar:
-
passing satu sentuhan,
-
membaca ruang kosong,
-
dan menekan lawan tanpa takut.
Pelatih Roni mulai menyadari bahwa Emir bukan sekadar pemain berbakat.
Ia pemain yang mau bekerja sampai batas.
Suatu hari latihan, pelatih menghentikan permainan.
“Semua kumpul!”
Anak-anak berlari mendekat.
“Besok kita uji coba lawan tim kota. Aku ingin melihat siapa yang siap.”
Ia menatap mereka satu per satu.
Lalu matanya berhenti pada Emir.
“Emir,” kata pelatih. “Besok kamu main inti.”
Anak-anak terdiam.
Fajri mendekat, memandang Emir dengan mata tajam. “Anak Tanah Bato itu? Main inti?”
“Ya,” jawab pelatih. “Karena dia paling konsisten.”
Emir menunduk hormat. “Terima kasih, Pak.”
Fajri mengencangkan rahangnya. Bukan karena cemburu, tapi karena ia merasa tertantang.
Malam sebelum uji coba, Emir duduk di teras rumah. Papa sedang memperbaiki lampu, sementara Mama membuat teh manis.
“Besok Emir main inti, Pa,” katanya pelan.
Papa menghentikan pekerjaannya. “Emir siap?”
Emir menatap kedua tangannya. “Emir… takut salah. Takut membuat pelatih kecewa.”
Papa tersenyum. “Emir tahu apa yang Papa lihat dari Emir kecil waktu pertama belajar bola?”
“Apa, Pa?”
“Emir tidak pernah takut mencoba, emir berani. Bukan karena merasa hebat, tapi karena emir mencintai bola.”
Emir terdiam.
“Selama emir main dengan hati,” kata Papa sambil menepuk kepalanya, “Emir tidak akan pernah mengecewakan siapa pun.”
Mama meletakkan teh di meja. “Minum dulu, Nak. Besok emir harus kuat.”
Emir mengangguk.
Ia menatap langit malam yang cerah, bintang-bintang seperti lampu stadion yang jauh di atas.
Dalam hati, ia berkata:
Besok… Emir akan memberikan yang terbaik.
Dan lebih menantang.
.png)

.png)
Post a Comment for "(EPISODE 4) BAKAT DARI TANAH BATO - HARI BERAT BERSAMA PERSIJU SIJUNJUNG"