(EPISODE 2) BAKAT DARI TANAH BATO - PORSETO TANAH BATO, TIM KECIL YANG BERANI
Suatu Sabtu pagi, lapangan Tanah Bato lebih ramai dari biasanya. Anak-anak Porseto berkumpul bukan sekadar untuk latihan, tetapi untuk sesuatu yang lebih besar: seleksi pemain inti untuk pertandingan antar-nagari yang akan digelar sebulan lagi.
Turnamen itu tidak spektakuler, tidak ada media, tidak ada stadion megah. Namun untuk anak-anak kampung, itu adalah panggung pertama mereka. Dan bagi Emir, ini adalah langkah selanjutnya setelah sekian lama hanya latihan, latihan, dan latihan.
Pak Surapati berdiri di tengah lapangan sambil memegang papan tulis kecil. Semangatnya seperti pelatih profesional yang sedang menyiapkan tim menuju liga besar.
“Baik, anak-anak!” serunya. “Hari ini kita tentukan siapa yang bermain di posisi inti. Tapi ingat, bukan hanya teknik yang dinilai. Kerja sama, keberanian, dan sikap juga penting.”
Anak-anak mengangguk, sebagian dengan wajah tegang, sebagian dengan semangat berlebih.
Emir meremas ujung kausnya sedikit. Ia tidak gugup, tapi berdebar. Dalam hati ia berdoa singkat:
Papa, Mama… semoga Emir bisa main bagus hari ini.
Dafa datang menghampirinya sambil membawa sarung tangan kiper yang sudah mulai robek di bagian jempol. “Emir, nanti kalau kau sudah di depan, jangan lupa kasih kode ya. Aku mau coba long pass baru.”
Emir tersenyum. “Siap, Kapten.”
“Kapten?” Dafa tertawa keras. “Aku bukan kapten!”
“Bagi aku, kau tetap kapten,” kata Emir jujur.
Dan Dafa, meskipun suka menggoda, tidak bisa menahan senyum bangga.
Latihan dimulai dengan pemanasan, dilanjutkan dengan permainan internal: dua tim saling berhadapan. Emir ditempatkan sebagai gelandang serang, posisi favoritnya karena ia bisa mengatur serangan sekaligus menusuk ke depan.
Benteng utama tim lawan adalah Miko. Walaupun tubuhnya kurus, Miko punya kecepatan dan agresivitas tinggi. Ia tidak takut melakukan tekel atau berlari tanpa henti.
“Emir! Kau tidak akan lolos dariku hari ini!” teriak Miko sambil mengepalkan tangan.
“Kita lihat saja nanti,” jawab Emir sambil tersenyum kecil.
Peluit ditiup.
Dafa melempar bola ke Emir. Dengan sentuhan pertama yang halus, Emir membalikkan tubuh dan mulai menggiring. Dua pemain lawan langsung menutup, tetapi Emir memutar bola dengan punggung kakinya, memindahkan arah tanpa berhenti.
Langkahnya ringan, persepsinya tajam. Ia bisa melihat celah sempit di antara dua pemain seolah waktu melambat.
Tapi Miko datang seperti badai.
“Emir! Kembalikan bola itu!”
Emir sempat heran bagaimana Miko bisa bergerak secepat itu. Dengan reaksi spontan, Emir memutar tubuhnya.
Bato Spin Dribble.
Putaran cepat, rumput terangkat sedikit, bola hilang satu detik, lalu muncul lagi di sisi kiri tubuhnya.
Tetapi…
BRAK!
Miko melompat ke samping, menghalangi jalur Emir.
Emir hampir kehilangan bola.
“Wah... bagus, Mik!” seru anak-anak lain dari pinggir lapangan.
Emir menarik napas. Ia tidak marah. Ia justru semakin terpacu.
Sekali lagi, Emir melakukan Bato Spin. Putaran lebih cepat, lebih rapat, dan ia menabrak sedikit bahu Miko untuk membuka ruang.
Miko terkejut. “Heh?!”
Dan dalam satu kedipan mata, Emir sudah lolos.
Ia berlari menyusuri tengah, Emir mengangkat bola sedikit, membiarkannya melayang satu detik saja…
Lalu tap!
Sebuah chip pass terukur meluncur lembut.
dan kiper lawan sudah terlambat bergerak.
“GOOOL!”
Sorakan meledak dari anak-anak Porseto yang menonton.
Pak Surapati menepuk kedua tangannya keras-keras. “Bagus, Emir!”
Emir mengusap keningnya yang berkeringat. Ia tidak melompat atau berteriak. Ia hanya menarik napas lega. Bukan karena gol itu, tetapi karena ia merasa semakin memahami permainannya.
Bukan hanya Bato Spin.
Bukan hanya dribble.
Tetapi ritme permainan.
Setelah setengah jam pertandingan internal, anak-anak dikumpulkan.
Pak Surapati mengambil napas panjang, kemudian menuliskan nama-nama di papan kecilnya.
“Baik, ini dia pemain inti Porseto untuk turnamen antar-nagari.”
Ia menyebut satu per satu.
“Penjaga gawang: Dafa.”
Sorakan kecil terdengar.
“Bek kanan: Miko.”
Miko mengangkat tangan tinggi. “Yes!”
“Gelandang serang: Emir.”
Emir tidak bisa menahan senyumnya. Ia memandang Papa dan Mama yang menonton dari jauh. Papa mengangkat jempol. Mama melambai sambil tersenyum bangga.
Itu saat paling berharga bagi Emir hari itu.
Turnamen antar-nagari itu berlangsung dua minggu setelah latihan intensif. Hari pertama, lapangan Tanah Bato dipenuhi orang-orang dari kampung sekitar. Tidak ada stadion, tidak ada tribun, tetapi ratusan orang duduk di tanah, di atas tikar, di bawah pohon, di bebatuan besar. Semuanya ingin menyaksikan pertandingan.
Porseto Tanah Bato melawan tim Nagari Batu Merah.
Bola baru bergulir lima menit ketika Emir mendapat umpan silang dari sisi kanan. Dua pemain Batu Merah langsung mengepungnya, satu dari depan, satu dari samping.
“Jangan biarkan dia putar-putar!” teriak pelatih lawan.
Tapi terlambat.
Emir memutar tubuh.
Sekali.
Dua kali.
Tiga kali.
Bato Spin Dribble tiga lapis.
Penonton bersorak. Anak-anak terkejut. Lawan kehilangan keseimbangan.
Dan Emir menusuk ke kotak penalti.
Dengan ketenangan luar biasa, ia melepaskan tembakan mendatar ke sudut kiri bawah gawang.
“GOOOOOOL!!!”
Riuh suara menggema tanpa pengeras suara.
Tanpa stadion, tanpa kursi penonton, hanya lapangan hijau biasa—tetapi sorakan itu terasa seperti dari ribuan orang.
Ketika pertandingan berakhir dengan kemenangan Porseto, Emir menjadi bahan pembicaraan.
Namun pujian terbesar datang dari Papa sendiri.
Papa menepuk bahu Emir pelan. “Bagus sekali mir. Tapi Papa bangga bukan karena golmu.”
“Lalu karena apa?” tanya Emir.
“Karena kau bermain dengan hati.”
Emir terdiam. Kata-kata Papa itu selalu membuatnya berpikir panjang.
Hari itu, di lapangan tanpa stadion itu, Emir merasa mimpinya mulai menemukan bentuk.
Sebuah mimpi yang masih jauh…
Namun sangat mungkin untuk dijangkau.
.png)

.png)
Post a Comment for "(EPISODE 2) BAKAT DARI TANAH BATO - PORSETO TANAH BATO, TIM KECIL YANG BERANI"