Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Luka yang Tertunda



Hari itu, hujan turun sejak pagi. Tidak deras, tapi cukup untuk membuat orang-orang malas keluar rumah. Lintang menatap jendela dari balik kafe tempatnya bekerja. Dia sedang menyusun laporan stok bahan baku sambil sesekali menyeruput latte favoritnya.

Dan seperti semesta sedang mengerjainya, bel pintu berbunyi nyaring.

“Selamat siang. Mau duduk di mana, Mas?” suara pegawai kasir menyambut tamu yang baru datang.

Lintang tak langsung menoleh, sampai suara bariton itu terdengar:

“Di dekat jendela saja, kalau boleh.”

Suaranya…

Lintang membeku. Ia pelan-pelan mendongak dari buku catatannya.

Dan di sana, berdiri laki-laki yang wajahnya sudah ia coba lupakan selama empat tahun.

Raka.

Pria yang pernah membuatnya percaya pada cinta, lalu menghancurkannya tanpa peringatan.

Lintang segera menunduk lagi. Hatinya berdebar, keringat dingin membasahi telapak tangan. Haruskah dia menyapa? Haruskah dia pura-pura tidak kenal?

Namun takdir punya rencana sendiri. Karena beberapa menit kemudian, Raka berdiri di depan mejanya.

“Lintang?”

Ia mengangkat wajahnya. Tidak bisa menghindar lebih lama.

“Hai, Ka...”


“Kamu kerja di sini?” Raka bertanya, duduk tanpa diminta. Masih sama seperti dulu—langsung masuk, tanpa aba-aba.

“Iya,” jawab Lintang singkat. “Barista dan manajer. Satu paket.”

“Wah… keren. Aku nggak nyangka ketemu kamu di sini.”

Lintang hanya mengangguk. Dalam hatinya berdesir pertanyaan: Apa yang kamu lakukan di kotaku lagi, Raka?

Lalu Raka bicara lagi, dengan suara lebih pelan, “Kamu berubah ya…”

Lintang menatapnya. “Kita semua berubah.”

“Ya… Tapi kamu lebih tenang sekarang.”

Lintang tersenyum miring. “Orang yang pernah patah biasanya belajar lebih banyak soal ketenangan.”

Raka tertunduk. “Kamu masih marah?”

“Bukan marah,” jawab Lintang. “Aku cuma butuh waktu untuk nggak merasa luka setiap ingat nama kamu.”

Mereka akhirnya duduk di meja dekat jendela. Kafe mulai sepi, hujan belum juga reda. Lintang memutuskan rehat sejenak dari pekerjaannya. Entah kenapa, hatinya mengizinkan percakapan ini terjadi.

“Empat tahun ya,” Raka membuka percakapan lagi. “Waktu cepat sekali.”

Lintang mengangguk. “Cepat untuk kamu, mungkin. Tapi buatku, itu seperti perjalanan panjang yang nggak pernah sampai.”

“Aku minta maaf, Tan.”

Lintang menoleh cepat. Ia terkejut mendengar panggilan itu. “Jangan panggil aku Tan. Nama itu milik perempuan yang kamu tinggalkan tanpa penjelasan.”

Raka tertunduk.

“Aku memang pengecut waktu itu,” katanya pelan. “Tapi waktu aku dapat kabar ayahku sakit parah dan harus pindah ke luar negeri, semuanya terjadi begitu cepat. Aku nggak tahu harus ngomong apa…”

Lintang menghela napas. “Kamu bisa saja bicara. Tapi kamu pergi. Hilang. Nomormu mati. Media sosialmu kosong. Seperti kamu sengaja menghapus aku.”

Raka menatapnya. “Karena aku takut. Aku tahu kalau aku pamit, aku nggak akan tega pergi.”

Lintang terdiam. Ada bagian dari hatinya yang mengerti. Tapi ada bagian yang masih terluka.

“Kamu tahu?” Lintang berkata lirih. “Aku menunggu kamu di taman hari itu. Hujan deras, dan aku tetap duduk di sana. Karena aku pikir kamu cuma telat. Tapi kamu nggak datang…”

Raka menggenggam gelas kopinya erat. “Aku masih mengingat tempat itu. Bahkan setiap kali hujan turun, wajah kamu muncul.”


Hening cukup lama menyelimuti mereka. Suara hujan di luar menjadi semacam latar suara yang menyayat.

Lintang bicara lagi, kali ini dengan lebih tenang. “Aku nggak nyalahin kamu sepenuhnya, Ka. Aku juga terlalu banyak berharap. Tapi kehilanganmu tanpa penjelasan… itu lebih sakit daripada ditinggal karena alasan jelas.”

“Aku salah,” Raka mengaku. “Dan aku sadar itu.”

Lintang menatap matanya. Masih mata yang sama—yang dulu membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Tapi sekarang, matanya belajar berhati-hati.

“Kamu kembali ke kota ini buat apa?” tanya Lintang akhirnya.

“Pindah tugas. Aku sekarang kerja di perusahaan logistik. Kantornya di sini. Jadi… mungkin aku akan tinggal di kota ini lagi.”

Lintang tertawa pahit. “Lucu ya. Setelah aku susah payah melupakanmu di kota ini, kamu malah kembali.”

Raka tersenyum. “Mungkin semesta ingin memberi kita kesempatan bicara. Setidaknya… untuk menutup cerita dengan benar.”

Lintang diam. Lalu ia berkata pelan, “Atau membuka luka yang belum sempat sembuh.”

Beberapa hari setelah pertemuan itu, Raka sering datang ke kafe. Kadang hanya duduk sambil membaca buku. Kadang memesan kopi, kadang hanya teh. Ia tak pernah memaksa bicara. Hanya duduk—dan menunggu.

Lintang tidak menyuruhnya pergi. Tapi juga tidak mendekat.

Hingga suatu malam, kafe hampir tutup, dan hanya mereka berdua di sana.

Raka mendekat.

“Aku nggak berharap kita kembali seperti dulu, Tan. Tapi aku cuma ingin bilang… aku masih menyimpanmu. Di tempat paling hangat dalam hidupku.”

Lintang menatap mata itu. Matanya basah. Tapi ia tersenyum.

“Dan kamu,” katanya, “selalu jadi orang yang aku doakan diam-diam—bahkan saat aku marah sekalipun.”

Raka berdiri. “Kalau suatu hari kamu bisa memaafkan aku, aku akan bersyukur. Tapi kalau tidak pun… aku akan tetap menghargai semua yang pernah kita punya.”

Lintang berdiri juga. “Aku sudah memaafkanmu, Ka. Tapi… aku belum bisa membuka pintu yang pernah tertutup.”

Raka mengangguk. “Aku paham.”

Mereka saling memandang. Tak ada pelukan. Tak ada ciuman. Hanya mata yang saling berbicara.

Dan malam itu, mereka berpisah—dengan tenang. Tidak lagi dengan luka.


Dua tahun kemudian, Lintang menikah. Bukan dengan Raka, tapi dengan seseorang yang ia kenal dari komunitas menulis.

Raka datang ke pernikahannya. Duduk di barisan tamu, tersenyum sepanjang acara. Saat Lintang berjalan melewati kursi tempat Raka duduk, mereka saling bertatapan sejenak. Lintang tersenyum, Raka membalas.

Dan dalam hati masing-masing, mereka tahu:

Cinta mereka pernah hidup. Pernah indah. Tapi tidak harus abadi.

Karena beberapa cinta… hanya datang untuk mengajarkan kita cara mencintai diri sendiri.

Post a Comment for "Luka yang Tertunda"