Langit Jingga di Ujung Senja
Hujan baru saja reda ketika Kirana menjejakkan kakinya di trotoar stasiun. Sisa-sisa air masih mengalir di sela-sela beton, menciptakan aliran kecil yang berkilau di bawah cahaya lampu jalan. Tangannya menggenggam erat payung biru tua yang kini sudah dilipat, sementara matanya menatap lurus ke arah langit senja yang berubah jingga.
Sudah dua tahun sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di kota ini. Bandung selalu punya cara menyambutnya—entah dengan rintik hujan, bau tanah basah, atau senja yang menggoda kenangan masa lalu.
Dan kali ini, kenangan itu datang dalam wujud seseorang: Alvan.
Mereka bertemu lima tahun lalu di perpustakaan kampus. Kirana, mahasiswi jurusan sastra yang selalu membawa novel kemana-mana, duduk di pojok ruangan dengan headphone menyala. Di seberangnya, seorang pemuda jurusan teknik sedang membaca buku tentang fisika kuantum. Tak satu kata pun terlontar pada pertemuan pertama itu, namun mata mereka sempat bertemu. Dan sejak hari itu, semesta seolah punya niat khusus untuk mempertemukan mereka lagi dan lagi.
“Gimana bisa kamu betah baca puisi kayak gitu?” tanya Alvan suatu sore, saat mereka sudah cukup akrab untuk duduk berdampingan di taman kampus.
Kirana hanya tersenyum. “Karena dari kata-kata, aku belajar mencintai diam-diam. Sama seperti puisi, yang indah justru karena tidak semua hal harus diucapkan.”
Alvan tidak menjawab. Tapi diam-diam, ia tahu bahwa ia telah jatuh cinta.
Namun cinta tak selalu berjalan seperti yang diharapkan. Setelah lulus, Kirana memilih melanjutkan studi ke luar negeri. Alvan, dengan prinsip realistisnya, memutuskan untuk membangun karier di Bandung. Jarak, waktu, dan ego akhirnya menjadi tembok. Mereka tidak pernah benar-benar putus, tapi juga tidak pernah benar-benar bersama. Komunikasi mulai renggang, hingga akhirnya hilang begitu saja.
Kini, dua tahun kemudian, Kirana kembali—bukan untuk mencari Alvan, tapi karena pekerjaan barunya di sebuah penerbitan besar di kota ini. Namun takdir, seperti biasa, punya rencana sendiri.
Hari itu, ia memutuskan untuk mengunjungi kafe kecil di Jalan Riau—tempat favoritnya dulu untuk menulis. Meja di dekat jendela masih ada, masih sama, masih memberikan pemandangan senja yang memukau.
Dan di meja lain, dengan secangkir kopi hitam dan laptop terbuka, duduklah sosok yang tak pernah ia lupakan.
“Alvan?”
Pemuda itu menoleh, dan senyum itu—senyum yang dulu mengisi banyak halamannya—masih sama hangatnya.
“Kirana?” suaranya serak, seperti menahan ribuan kata yang tak sempat diucapkan.
Mereka duduk berseberangan. Awalnya canggung, seperti dua sahabat lama yang lupa bagaimana caranya berbicara satu sama lain. Tapi waktu, meski telah mencuri banyak hal, tak pernah benar-benar bisa mengambil kenyamanan yang pernah mereka bagi.
“Aku pikir kamu nggak akan kembali ke kota ini,” kata Alvan sambil menyesap kopinya.
“Aku pikir kamu udah lupa aku,” balas Kirana sambil tertawa kecil.
Mereka berbicara tentang pekerjaan, kehidupan, hingga masa lalu yang sempat menggantung. Kirana tahu, hatinya masih bergetar setiap kali Alvan menatapnya. Dan Alvan sadar, bahwa rasa itu tak pernah benar-benar pergi.
Hari-hari berikutnya, mereka mulai sering bertemu. Kadang di kafe, kadang di taman, kadang hanya untuk berjalan kaki menyusuri jalanan Braga. Tidak pernah ada kata "balikan" atau "memulai lagi" yang terucap, tapi kedekatan itu tumbuh pelan-pelan, seperti embun pagi yang setia meski tak terlihat.
Suatu malam, mereka duduk di atap gedung apartemen Kirana, menatap bintang.
“Menurut kamu, kita dulu salah?” tanya Kirana pelan.
“Salahnya cuma satu,” jawab Alvan, “kita terlalu diam ketika seharusnya bicara. Terlalu jaga perasaan ketika seharusnya jujur.”
Kirana mengangguk, lalu berkata, “Aku takut saat itu. Takut kamu nggak punya ruang buat aku di hidup kamu.”
Alvan menatapnya, lama. “Selama ini, ruang itu selalu ada. Cuma kamu yang pergi sebelum sempat masuk lebih dalam.”
Tiga bulan berlalu. Hubungan mereka kembali tumbuh, namun dengan kedewasaan yang berbeda. Kirana kini tak lagi ragu menunjukkan perasaannya. Alvan pun belajar untuk mengungkapkan, meski tidak lewat kata-kata, tapi melalui tindakan-tindakan kecil: mengantar saat hujan, mendengarkan ceritanya dengan sabar, atau menungguinya menulis hingga larut malam.
Suatu hari, Kirana mengajak Alvan ke tempat favoritnya—bukit kecil di Lembang. Mereka duduk bersisian, menikmati langit senja yang berwarna jingga.
“Aku nulis novel baru,” kata Kirana.
“Cerita cinta?” tanya Alvan.
Kirana tersenyum. “Cerita tentang seseorang yang akhirnya menemukan rumahnya, setelah berkelana terlalu jauh.”
“Dan siapa yang jadi rumahnya?”
Kirana menoleh padanya, lalu menjawab, “Orang yang dulu pernah aku tinggalkan, tapi ternyata selalu menungguku pulang.”
Alvan menggenggam tangan Kirana. “Selamat datang pulang.”
Waktu terus berjalan. Tidak ada lamaran mewah atau pernikahan megah. Tapi mereka memilih satu sama lain, hari demi hari. Di antara kesibukan, di antara senja yang datang dan pergi, cinta mereka tumbuh sederhana, namun kuat.
Karena cinta sejati tidak selalu datang dengan fanfare atau kejutan besar. Kadang, ia hadir diam-diam, menunggu saat yang tepat untuk kembali. Seperti langit jingga di ujung senja—selalu datang, selalu indah, dan selalu membuat rindu ingin pulang.
Post a Comment for "Langit Jingga di Ujung Senja"