Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sepotong Hati di Balik Jendela



Hujan pertama bulan Juni turun tanpa aba-aba. Di balik jendela rumah tua yang menghadap ke jalan kecil di Yogyakarta, Nara duduk sambil memandangi rinai hujan yang membasahi dedaunan. Tangannya memegang secangkir teh hangat, tapi matanya kosong, mengembara jauh ke masa lalu yang belum benar-benar bisa ia lepaskan.

Rumah itu sunyi. Terlalu sunyi sejak kepergian Arga, satu-satunya orang yang membuat hidup Nara terasa seperti puisi berjalan. Lima tahun sudah berlalu, tapi setiap sudut rumah masih menyimpan jejaknya—cara ia menyusun buku di rak, lukisan kecil yang mereka beli di Malioboro, bahkan sisa goresan spidol di kulkas yang belum sempat dibersihkan.

Nara tak pernah benar-benar tahu alasan Arga pergi. Suatu pagi, pria itu hanya meninggalkan secarik kertas di meja dapur:

“Aku harus pergi. Maaf, aku belum cukup baik untuk tinggal. Tapi kamu… kamu selalu indah di mataku.”

Tak ada nomor. Tak ada alamat. Hanya luka yang membekas, yang tak kunjung sembuh.

Selama bertahun-tahun, Nara mencoba menyibukkan diri. Ia mengajar di sekolah seni, menulis cerita pendek, dan menanam bunga mawar di pekarangan belakang. Tapi setiap kali hujan turun, hatinya kembali ke tahun itu, ketika semuanya terasa utuh.

Dan kini, di bulan Juni yang basah ini, semuanya berubah.

Hari itu, seorang pemuda datang ke rumahnya. Wajahnya asing, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang akrab.

“Maaf, ini rumah Ibu Nara?” tanyanya sopan.

“Iya, saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?”

Pemuda itu tersenyum canggung, lalu menyerahkan sebuah amplop besar. “Ini titipan dari seseorang bernama Arga. Ia bilang hanya Anda yang boleh membukanya.”

Darah Nara berdesir. “Arga?”

“Ya, dia ayah saya.”

Nara membeku.

Waktu seakan berhenti, sementara hujan terus turun seperti tirai yang menutupi semua logika. Pemuda itu—sekitar dua puluh tahunan, tinggi, dengan senyum mirip Arga—masih berdiri di ambang pintu.

Setelah mempersilakan masuk, Nara duduk berhadapan dengannya di ruang tamu. Tangannya gemetar saat membuka amplop itu.

Isinya: puluhan surat yang ditulis tangan. Tertanggal setiap bulan, sejak hari kepergiannya.

"Juni 2020
Hari ini aku pergi dari rumah. Bukan karena aku tak mencintaimu, tapi karena aku merasa terlalu kecil untukmu. Aku tak punya pekerjaan, tak punya arah. Aku takut membuatmu kecewa terus menerus."

"Desember 2020
Aku bekerja di pelabuhan Surabaya. Berat rasanya tak mendengar suaramu, tapi aku ingin pulang dengan kepala tegak."

"Mei 2021
Aku bertemu seseorang. Namanya Sinta. Ia baik, menyelamatkanku dari gelapku. Tapi aku tidak pernah bisa mencintainya. Hati ini, entah bagaimana, selalu tertinggal di Yogyakarta."

Surat demi surat dibaca Nara. Air matanya menetes satu demi satu. Di akhir amplop, ada surat terakhir bertanggal 1 April 2024:

"Aku mengidap kanker paru-paru. Kata dokter, waktuku tinggal sedikit. Aku sudah menceritakan semuanya pada anakku, Revan. Dia akan mengantarkan surat-surat ini padamu.
Maaf karena aku pengecut. Tapi jika kau membaca ini, ketahuilah: aku tak pernah berhenti mencintaimu. Bukan sehari pun."

“Jadi… kamu Revan?” tanya Nara setelah lama terdiam.

Pemuda itu mengangguk. “Ayah banyak bercerita tentang Ibu. Bahkan di saat terakhirnya, dia hanya menyebut satu nama: Nara.”

Nara menahan isak. Ia tak pernah menyangka, cinta yang ia kira hilang ternyata hanya berpindah bentuk—menjadi surat, menjadi nama yang hidup dalam cerita, dan kini, menjadi anak yang duduk di hadapannya.

“Kenapa dia tak pernah mengirim surat-surat ini?”

“Dia takut. Dia pikir Ibu sudah bahagia. Tapi dia menulis setiap bulan. Aku yang menyimpannya.”

Hari-hari berikutnya, Revan sering datang ke rumah. Ia mewarisi banyak hal dari Arga—ketenangan, suara berat yang menenangkan, bahkan selera humornya. Meski usianya terpaut jauh, Nara merasa kehadirannya seperti benang merah yang menghubungkan masa lalu dan masa kini.

Suatu hari, mereka duduk di beranda, menikmati teh sore.

“Ibu tahu?” tanya Revan pelan, “Ayah selalu menggambar jendela. Dalam sketsa-sketsanya, selalu ada perempuan duduk memandangi hujan. Aku baru sadar… itu Ibu.”

Nara tersenyum tipis. “Aku sering duduk di jendela waktu dia belum pergi. Dia suka bilang, wajahku terlihat paling damai saat menatap hujan.”

Waktu kembali berjalan. Musim berganti. Revan pindah ke Yogyakarta dan mulai bekerja sebagai ilustrator. Hubungan mereka tak pernah diberi nama. Tapi seperti Arga dulu, cinta hadir dalam tindakan-tindakan kecil: menemani ke pasar, memperbaiki genteng bocor, atau mengantar ke makam Arga setiap minggu.

Suatu malam, saat langit cerah dan bintang bertaburan, Revan mengeluarkan buku sketsa.

“Ayah ingin buku ini jadi milik Ibu,” katanya sambil menyerahkan padanya.

Nara membuka halaman demi halaman. Semua gambar adalah dirinya—duduk di jendela, tersenyum, menangis, menulis, menatap hujan. Dan di halaman terakhir, ada tulisan tangan:

“Jika kau membaca ini, berarti aku sudah tak di dunia ini. Tapi cintaku tetap hidup—di mata anak kita, di tiap hujan yang turun, dan di jendela tempat kau selalu menungguku.
Aku pulang. Dengan caraku.”

Malam itu, Nara duduk di balik jendela yang sama. Hujan turun pelan. Di dalam dirinya, tidak ada lagi kekosongan. Hanya kenangan yang hangat, dan cinta yang tidak mati—hanya berubah rupa.

Dan kali ini, ia tidak sendiri. Di ruang belakang, Revan sedang menyiapkan teh untuk mereka berdua.

Cinta mungkin pernah pergi. Tapi sepotong hati itu selalu tahu jalan pulang.

Post a Comment for "Sepotong Hati di Balik Jendela"