Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Rindu di Ujung Senja



Langit sore di Kota Bandung memerah perlahan. Cahaya jingga menari di balik awan tipis yang bergelayut rendah, seolah menggambarkan perasaan seseorang yang sedang menanti jawaban atas hatinya yang belum juga menemukan rumah.

Alya menatap senja itu dari balkon apartemennya yang menghadap ke barat. Angin lembut meniup rambut panjangnya yang tergerai. Ia menggenggam secangkir kopi yang sejak lima belas menit lalu tak disentuh. Pikirannya melayang pada satu nama yang sudah lama ia coba lupakan—Raka.

Sudah lima tahun berlalu sejak malam terakhir mereka berbicara. Malam ketika hujan turun deras, ketika cinta mereka berakhir bukan karena berhenti, tapi karena keadaan memaksa.

“Jangan tunggu aku, Alya. Mungkin aku nggak akan kembali…”

Kalimat itu terus terngiang seperti gema tak berkesudahan.

Alya memilih diam saat itu. Bukan karena ia setuju, tapi karena ia tidak tahu harus berkata apa. Raka pergi ke luar negeri demi ibunya yang sakit parah dan membutuhkan pengobatan khusus. Mereka berjanji akan saling menunggu. Tapi setelah dua tahun tanpa kabar, Alya menyerah. Ia pikir Raka benar-benar hilang.

Tapi sore ini berbeda. Di antara warna senja dan desiran angin, notifikasi dari ponselnya menyala: 1 pesan baru dari Raka.

“Hai, aku di Bandung sekarang. Boleh kita bertemu?”

Jantung Alya berdetak lebih cepat. Seketika, semua luka yang dulu sudah ia simpan rapi mulai muncul kembali. Namun, di balik rasa sakit itu, ada getaran aneh yang belum ia pahami. Apakah ini... rindu?

Setelah menarik napas panjang, ia membalas singkat:

“Di mana?”

Balasan datang cepat.

“Tempat biasa. Taman Dago, di bawah pohon flamboyan. Jam 6 sore.”

Alya melirik jam dinding. 17:30. Tanpa pikir panjang, ia mengambil jaket, mengenakan sneakers, dan keluar dari apartemen. Langkahnya cepat tapi penuh ragu. Hatiku... apakah aku siap?

Taman Dago masih seperti dulu. Tenang, sejuk, dengan bangku kayu tua yang terletak tepat di bawah pohon flamboyan raksasa. Di sana, Raka sudah duduk. Tubuhnya lebih kurus, wajahnya lebih dewasa, tapi senyumnya masih sama—senyum yang dulu membuat Alya jatuh hati.

Saat mata mereka bertemu, waktu seolah berhenti. Dunia hening. Tak ada yang lebih penting dari momen itu.

“Alya…” katanya lirih, seperti menyebut nama yang hampir terlupakan tapi ternyata masih tertanam dalam.

“Raka,” jawab Alya, datar, meski hatinya bergetar.

Mereka duduk berdampingan. Diam beberapa saat, hingga hanya suara burung sore dan desir angin yang terdengar.

“Aku minta maaf,” kata Raka akhirnya. “Aku pengecut. Aku nggak ngabarin kamu karena aku nggak mau kamu terjebak dalam hidup yang belum tentu bisa aku perbaiki.”

Alya menoleh. “Kenapa baru sekarang?”

“Aku takut. Tapi lebih takut lagi kehilangan kamu untuk selamanya. Makanya aku datang.”

Raka kemudian menceritakan semuanya. Tentang ibunya yang akhirnya meninggal, tentang masa-masa gelapnya di negeri orang, dan bagaimana setiap malam ia bermimpi tentang Alya—tentang suara tawanya, pelukannya, dan tatapan matanya yang selalu memberi kekuatan.

“Aku hidup, tapi rasanya kayak mati, kalau nggak ada kamu.”

Alya menunduk. Ada air mata di sudut matanya. Ia tak tahu harus membenci atau memeluk pria itu. Tapi satu hal yang ia sadari, hatinya masih berdenyut karena nama itu.

“Lalu, kamu ke sini… untuk apa?” tanya Alya, setengah berbisik.

Raka menarik napas panjang. “Untuk menebus semuanya. Untuk tahu, apakah masih ada ruang buatku di hidup kamu.”

Seketika, Alya berdiri. Ia berjalan beberapa langkah ke depan, memandangi matahari yang mulai tenggelam.

“Aku nggak tahu, Rak. Aku sudah berusaha melupakan kamu. Aku mencoba jatuh cinta lagi, tapi nggak pernah bisa sedalam waktu bersamamu.”

Raka berdiri pelan, mendekatinya dari belakang. “Karena kita memang belum selesai.”

Alya menoleh. Air mata mengalir pelan di pipinya.

“Kalau kamu datang cuma untuk nostalgia, aku nggak kuat, Rak. Aku nggak mau disakiti lagi.”

“Tidak,” bisik Raka sambil menggenggam tangan Alya. “Aku datang karena aku yakin, kamu adalah rumah yang selama ini aku cari.”

Langit makin gelap. Tapi di antara bayang senja dan lampu taman yang menyala lembut, dua hati yang dulu terpisah oleh waktu dan keadaan kini saling menemukan kembali.

Dan di bawah pohon flamboyan yang saksi cinta mereka dulu, Alya memeluk Raka. Erat. Hangat.

Mungkin tak semua cinta harus berakhir. Mungkin, cinta sejati hanya menunggu waktu yang tepat untuk kembali.

Dan bagi mereka, waktu itu adalah senja ini.

Post a Comment for "Rindu di Ujung Senja"