Di Bawah Hujan Bulan Juli
Hujan turun pelan sore itu, membasahi jalan kecil di Desa Sukamulya, tempat di mana langit seolah lebih dekat dengan bumi. Di balik jendela sebuah rumah kayu sederhana, seorang perempuan muda tengah menulis sesuatu di buku hariannya, ditemani teh hangat dan suara rintik hujan.
Namanya Nayla. Usianya 27 tahun. Seorang guru honorer di sekolah dasar desa itu, dan diam-diam masih menyimpan rindu pada seseorang yang telah lama pergi.
Namanya Arka.
Lima tahun lalu, mereka berpisah. Arka memilih pergi ke Jakarta untuk mengejar mimpinya menjadi fotografer. Mereka berjanji akan saling menunggu, saling mengirim kabar, dan tetap mencintai.
Tapi hidup tak selalu seindah puisi yang Nayla tulis. Setelah dua tahun, kabar Arka mulai hilang. Pesan-pesan hanya dibaca, tak dibalas. Telepon tak dijawab. Nayla sempat berpikir Arka sudah melupakannya. Tapi tak sekalipun ia bisa membenci.
Sampai hari ini, di mana hujan bulan Juli kembali turun—persis seperti hari perpisahan mereka dulu.
Di luar rumah, suara langkah kaki terdengar mendekat. Nayla mengintip dari balik jendela. Sosok pria dengan jas hujan biru tua dan kamera tergantung di leher berdiri di depan pagar rumah.
Hatinya seolah berhenti berdetak. Itu... Arka?
Pintu diketuk. Nayla membuka dengan tangan gemetar.
Dan benar. Di balik hujan dan kabut sore, mata itu masih sama. Tatapan yang dulu membuatnya merasa pulang.
“Assalamu’alaikum, Nayla…” suara itu berat, sedikit ragu.
“Wa’alaikumsalam… Arka?”
Pria itu tersenyum, menurunkan tudung jas hujannya. “Aku pulang.”
Mereka duduk berhadapan di ruang tamu. Udara dingin, tapi suasana justru hangat oleh kenangan yang mendadak kembali hidup.
“Maaf aku lama,” kata Arka akhirnya. “Aku… hilang arah di kota. Waktu ibuku meninggal, aku kehilangan semangat. Kamera jadi benda mati. Aku nggak mau kamu terjebak dalam kesedihan itu.”
Nayla menatapnya. “Tapi kenapa kamu nggak bilang? Aku menunggu, Ka. Bertahun-tahun.”
“Aku takut. Takut kamu kecewa, takut kamu bahagia dengan orang lain.”
Nayla menggeleng pelan. “Aku nggak pernah berhenti percaya kamu akan pulang.”
Hening sejenak. Hujan masih turun, seolah ikut menangisi pertemuan ini.
“Aku nggak tahu apakah semuanya masih bisa dimulai dari awal,” kata Arka lirih. “Tapi aku tahu satu hal. Hatiku masih penuh oleh namamu.”
Nayla tersenyum. “Mungkin kita bukan memulai dari awal, Ka. Tapi melanjutkan yang sempat terhenti.”
Malam itu, mereka berbicara hingga larut. Tentang masa lalu, tentang luka, tentang mimpi yang sempat terabaikan. Arka menunjukkan foto-foto yang ia ambil selama pengembaraannya. Salah satu yang membuat Nayla diam cukup lama: foto ladang teh Sukamulya dari ketinggian, dengan satu titik kecil sosok perempuan berkebaya berdiri di tengah kabut.
“Itu kamu. Aku memotret diam-diam saat pulang diam-diam dua tahun lalu,” ujar Arka pelan. “Waktu itu aku belum punya keberanian bertemu kamu.”
Pagi esoknya, desa Sukamulya bersinar cerah. Matahari kembali muncul setelah semalam hujan reda. Arka dan Nayla berjalan menyusuri jalan setapak menuju sekolah dasar.
Anak-anak berteriak senang melihat pria berkamera datang bersama Bu Guru Nayla.
“Kak Arka pacarnya Bu Guru ya?” tanya salah satu anak polos.
Nayla tersenyum malu. Arka menoleh, memandang Nayla dalam-dalam.
“Belum,” katanya sambil menunduk di depan anak-anak. “Tapi kalau Bu Guru mau, aku ingin jadi suaminya.”
Seketika, tawa anak-anak meledak.
Dan Nayla, untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, merasa hidupnya utuh kembali.
Post a Comment for "Di Bawah Hujan Bulan Juli"