Secangkir Kopi, Sepotong Kenangan
Kedai itu masih berdiri di sudut Jalan Wijaya. Sebuah tempat kecil yang mungkin akan luput dari perhatian siapa pun yang melintas dengan terburu-buru. Tapi bagi Raka, kedai itu adalah dunia kecil yang menyimpan sebagian besar kenangannya—dan hatinya.
Namanya “Kopi Kenangan Kita.” Ironis, karena meski namanya mengandung kata kita, selama bertahun-tahun Raka duduk sendirian di sana. Mengaduk kopi pahitnya, menatap hujan di balik jendela, dan menunggu sesuatu yang tak pasti.
Atau lebih tepatnya, seseorang. Sena.
Sena adalah pelanggan pertamanya. Seorang penulis muda dengan rambut sebahu dan mata yang selalu tampak menerawang. Ia suka duduk di pojok jendela, menatap keluar seperti mencari inspirasi yang tersembunyi di balik gerimis. Pesanannya selalu sama: kopi hitam, tanpa gula.
Hubungan mereka tidak pernah disusun dalam bentuk kata “cinta”. Tidak ada pengakuan, tidak ada janji, tidak ada sentuhan tangan yang terlalu lama. Tapi semuanya ada di sana—terbungkus dalam diam yang nyaman, dalam tatapan yang terlalu dalam, dalam tawa kecil di sela cerita-cerita malam.
Sampai satu hari, Sena berkata, “Aku dapat beasiswa ke Jepang. Hanya enam bulan. Aku akan kembali, dan menulis buku tentang kita.”
Raka mengangguk, mencoba tersenyum. Tapi sejak hari itu, tempat duduk di pojok jendela selalu kosong.
Waktu berjalan pelan tapi pasti. Enam bulan menjadi satu tahun. Satu tahun menjelma dua. Lalu menjadi tahun-tahun yang terlalu lama untuk dihitung.
Raka berhenti menyeduh dua cangkir. Ia hanya membuat satu kopi setiap hari, untuk dirinya. Tapi sesekali, saat hujan datang seperti sore itu, ia membuat dua. Satunya diletakkan di meja di pojok jendela. Seolah masih percaya bahwa Sena akan datang.
Dan sore itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, bel pintu kedai berbunyi dan menghadirkan keajaiban.
Sena berdiri di ambang pintu, dengan jaket yang basah dan rambut yang lebih panjang. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya, hanya tatapan yang penuh cerita. Raka terpaku. Matanya, dadanya, semuanya gemetar.
Sena duduk di bangku lamanya. “Masih ingat kopi pesananku?”
Raka hampir tertawa. “Mana mungkin aku lupa.”
Ia membuatkan kopi itu dengan tangan sedikit gemetar. Saat meletakkannya di meja, ia melakukannya seperti menyusun ulang potongan-potongan kenangan yang lama berserakan.
“Aku minta maaf,” kata Sena perlahan. “Aku terlalu lama pergi. Aku takut pulang dan menemukanmu sudah tak lagi menungguku.”
Raka duduk di hadapannya. “Aku memang berhenti menunggu… tapi aku tak pernah berhenti berharap.”
Hening. Hujan di luar jendela menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Namun dalam diam itu, ada yang tersampaikan. Rasa yang lama terkubur muncul kembali, bukan sebagai hantu, tapi sebagai pelukan hangat yang akhirnya kembali pulang.
Sena mengeluarkan sebuah buku catatan dari tasnya. “Buku ini belum selesai kutulis. Selalu ada satu bab yang kosong. Dan hari ini, aku tahu kenapa.”
“Kenapa?”
“Karena bab itu harus kutulis di sini. Denganmu.”
Sore berlanjut menjadi malam. Lampu-lampu kota menyala pelan. Di dalam kedai itu, dua cangkir kopi berdiri berdampingan. Tak ada percakapan yang terburu-buru, tak ada kegugupan. Mereka hanya saling tatap, saling diam, tapi kali ini dalam kepastian.
“Masihkah aku punya tempat di hidupmu?” tanya Sena, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan.
“Kamu tak pernah benar-benar pergi dari sana,” jawab Raka.
Beberapa bulan setelah itu, terbitlah sebuah buku berjudul Secangkir Kopi, Sepotong Kenangan. Di halaman pertama, terdapat kalimat persembahan:
“Untuk pemilik kedai di sudut kota. Terima kasih sudah menungguku, bahkan saat aku sendiri hampir lupa cara pulang.”
Dan di kedai kecil itu, bangku di pojok jendela tak lagi kosong. Karena kadang, cinta tak perlu diumumkan. Ia hanya perlu tempat untuk kembali. Dan secangkir kopi yang diseduh dengan setia.
Post a Comment for "Secangkir Kopi, Sepotong Kenangan"