Saya, WiFi, dan Kesalahpahaman Besar
Gue selalu percaya kalau teknologi diciptakan untuk mempermudah hidup manusia. Tapi setelah kejadian Selasa malam kemarin, gue mulai curiga kalau router WiFi di rumah gue sebenarnya punya dendam pribadi sama gue.
Semua berawal dari kecepatan internet di kosan gue yang lebih labil daripada perasaan gebetan pas ditanya "kita ini apa?". Sebagai penulis freelance yang menggantungkan hidup pada koneksi stabil, kecepatan internet 0,5 Mbps adalah bentuk penindasan nyata.
"Masa buka Google Image aja gambarnya muncul kotak-kotak kayak sensor film dokumenter kriminal?" keluh gue ke kucing kosan, yang cuma balas dengan tatapan menghina.
Satu-satunya solusi adalah numpang WiFi di kafe sebelah kosan. Kafe itu namanya "Hati & Kopi". Tempatnya estetik, baristanya ramah, dan yang paling penting: WiFi-nya kencang banget sampai-sampai kalau gue download film, filmnya belum selesai di-klik, udah ada di laptop.
Gue masuk ke kafe dengan gaya sok sibuk. Laptop di tangan kiri, muka ditekuk kayak cucian belum disetrika. Gue memesan Americano paling murah supaya bisa duduk selama lima jam tanpa merasa bersalah.
"Mas, password WiFi-nya apa ya?" tanya gue ke Mas Barista yang rambutnya dikuncir satu mirip ekor kuda.
Dia senyum tipis, lalu membisikkan sesuatu yang jadi awal bencana ini. "Password-nya: SayasayangbangetsamaLinda."
Gue tertegun. "Hah? Gimana Mas?"
"SayasayangbangetsamaLinda. S-nya kapital, sambung semua," ulang si Mas Barista dengan nada yang—entah kenapa—terdengar tulus banget.
Gue mangut-mangut. Oke, mungkin Linda itu pemilik kafenya. Atau mungkin Linda itu nama mesin kopinya. Gue nggak peduli. Gue duduk di pojokan, mengetik password itu, dan boom! Internet langsung melesat. Gue merasa seperti penguasa dunia.
Masalah datang sekitar jam delapan malam. Kafe mulai ramai. Di meja depan gue, duduk seorang cewek cantik yang dari tadi kelihatannya lagi kesal sama laptopnya. Dia berkali-kali mematikan dan menyalakan toggle WiFi di HP-nya.
Tiba-tiba, dia menoleh ke arah gue. "Mas, maaf, tahu password WiFi sini nggak? Mas Baristanya lagi sibuk di belakang."
Gue, sebagai cowok yang ingin terlihat membantu (dan siapa tahu bisa kenalan), langsung menjawab dengan lantang tanpa mikir panjang.
"Oh, tahu Mbak! Password-nya: Saya sayang banget sama Linda!"
Suasana kafe yang tadinya berisik suara mesin kopi, mendadak hening. Tiga orang di meja sebelah menoleh. Si Mbak itu melongo. Mukanya berubah dari bingung jadi merah padam.
"Hah? Maksudnya gimana ya?" tanya si Mbak dengan suara bergetar.
"Iya, beneran Mbak. Saya sayang banget sama Linda. Huruf S-nya gede, nggak pakai spasi," tambah gue, mencoba meyakinkan dia kalau gue nggak bohong soal teknisnya.
Si Mbak itu berdiri, matanya berkaca-kira. "Mas... Mas ini siapa ya? Kok bisa tahu nama saya? Dan kenapa Mas tiba-tiba nembak saya di depan umum kayak gini? Kita bahkan nggak kenal!"
Gue membeku. Jantung gue rasanya mau pindah ke jempol kaki. "Tunggu... nama Mbak... Linda?"
"IYA! Nama saya Linda! Dan ini creepy banget!" teriaknya, sukses membuat seluruh pengunjung kafe sekarang menonton kami kayak lagi nonton episode klimaks sinetron hidayah.
Belum sempat gue menjelaskan kalau itu cuma password WiFi, seorang cowok berbadan kekar muncul dari arah toilet dan langsung berdiri di samping Linda.
"Ada apa, Yang? Ini orang gangguin kamu?" tanya si cowok kekar sambil menatap gue seolah-olah gue adalah kecoa yang siap diinjak.
Gue menelan ludah. "Bukan gitu, Bang... Anu... WiFi-nya... Linda... Maksud saya, saya sayang WiFi... eh, bukan!"
Mas Barista kuncir kuda tiba-tiba muncul dari balik meja bar dengan muka tanpa dosa. "Oh, maaf semuanya. Saya lupa bilang, Linda itu mantan saya yang baru mutusin saya kemarin. Makanya saya ganti password-nya jadi itu biar saya ingat terus. Eh, Masnya malah dipraktekin ke pelanggan lain."
Gue cuma bisa menutup muka pakai layar laptop yang masih terbuka. Malam itu, gue pulang ke kosan bukan bawa hasil tulisan, tapi bawa trauma digital.
Besoknya, gue memutuskan untuk beli kuota data sendiri. Mahal dikit nggak apa-apa, yang penting nama mantan orang lain nggak bikin gue hampir digebukin massa.
.png)

.png)
Post a Comment for "Saya, WiFi, dan Kesalahpahaman Besar"